Alhamdulillah, setelah berkali-kali mencoba mengirim percikan (cerita mini) ke majalah GADIS, akhirnya ada yang nyantol juga. Itupun aku tulis di sela-sela kesibukan dan kebetulan sudah lama tak menulis. heuheu...
BIR PLETOK dimuat di GADIS pada edisi 17 minggu terakhir bulan Juni 2015. Fyuh, cukup membuat termotivasi untuk menulis lagi.
Silakan membaca, ditunggu komentarnya... :)
![]() |
GADIS ed. 17 via |
Bir
Pletok
Oleh
: Reyhan M Abdurrohman
“Kamu
udah bisa bikin Bir Pletok yang enak, Fit?”
Sumpah,
hatiku langsung deg-deg-ser saat menatap wajah cakep Egi yang muncul tiba-tiba
di depan mejaku. Yap, aku salah satu dari seantero cewek di sekolah yang
mengaguminya. Cowok satu-satunya pada jurusan kuliner di SMK Pariwisata, cakep
pula. Dan sekarang, dia menghampiriku di kelas dengan tiba-tiba.
Ng...
aku ... aku juga nggak tahu apakah yang kubikin bisa dibilang enak,” jawabku
terbata. Jantungku masih saja tak normal detakannya. Ini seperti mimpi.
“Aku
ingin belajar membuatnya. Bir Pletok jadi salah satu minuman tradisional yang
akan diujikan nanti. Aku tak ahli dalam urusan kuliner tradisional.”
“Oh
ya? Aku malah belum tahu soal ujian praktek itu.”
Kulihat
teman-teman di kelasku saling berbisik-bisik sambil mencuri pandang sinis ke
arahku dan Egi. Mereka hanya syirik. Emang aku pikirin?
***
Sekarang
aku sudah berada di atas motor sport milik Egi. Oh Tuhan... mimpi apa
aku semalam? Aku diboncengnya menuju rumah. Kita akan belajar membuat Bir
Pletok di rumahku. Kebetulan Ibu punya warung yang salah satu menu andalannya
adalah Bir Pletok yang banyak khasiatnya itu.
Tak
lama kami sampai, karena memang rumahku tidak terlalu jauh dari sekolah. Kurang
lebih lima belas menit jika tidak macet.
“Gi,
dari mana kamu tahu aku bisa bikin Bir Pletok?” tanyaku kepo. Sebetulnya iseng
aja sih, daripada suasananya kaku gini.
Waktu
itu aku sedang merebus rempah untuk bir pletok. Sedangkan Egi dengan antusias
memerhatikanku. Diperhatikan Egi sedekat ini, jadi grogi parah. Aku sendiri
masih belum bisa mengatur laju jantungku.
“Pak
Anggoro (guru kuliner di sekolah) yang bilang. Praktek kemarin katanya punyamu
paling enak.”
Aku
tersipu, “Benarkah? Padahal ini minuman yang sangat mudah.”
“Tidak
bagiku. Aku tak tahu berapa banyak perbandingan dari jenis rempah yang direbus.
Seperti: jahe, kayu secang, batang serai, dan rempah lainnya.”
Sedari
tadi, jantungku tak bisa berdetak normal. Sesekali aku mencuri pandang ke arah
wajah oriental Egi yang mirip Chef Arnold. Atau jangan-jangan ... dia memang adiknya
Chef Arnold? Jika tidak, sepupunya, atau saudara jauhnya? Bukan-bukan. Aku
menggelengkan kepala mengusir pikiran bodoh itu.
“Kamu
kenapa?”
Aku
meringis. “Tidak apa-apa.”
Aku
melanjutkan kembali. Setelah selesai. Kusuguhkan minuman hangat itu kepada Egi.
“Enak
sekali ini, Fita. Rempahnya pas, tidak terlalu strong. Rasanya enak di
lidah, dan hangat di perut.”
Aku
tesipu. Pujian itu benar-benar membuatku melambung. Aku sendiri masih tak
percaya kalau cowok pujaan setiap cewek di sekolah yang diam-diam kusukai
sekarang di sini, di dekatku dan sedang memujiku. Haish, jika ini mimpi aku
rela tak bangun lagi. Plak! Aku menampar pipiku, memastikan kalau semuanya
nyata. Aku mengaduh kesakitan.
“Kamu
kenapa?”
Aku
mengutuki diriku sendiri dalam hati. Kemudian meringis memamerkan gigi kuningku
ke Egi, “Hehe, tidak apa-apa. Aku-nya jangan dipuji terus, nanti terbang.”
***
Duh,
aku kepikiran Egi terus. Wajahnya selalu terbayang. Ini semua gara-gara Bir
Pletok. Aku harus berterima kasih kepada Ibu yang sudah mengajariku membuat Bir
Pletok paling enak.
Padahal
awalnya aku malas membuat minuman kuno itu. Bagiku lebih gaul dan keren kalau
bisa membuat minuman modern, bahkan menciptakan minuman baru.
Bir
Pletok masih sudah menjadi perantaraku
dan Egi semakin dekat. Akkk, aku jadi tak sabar menunggu besok, dan hari-hari
berikutnya.
***
“Fita,
terima kasih banyak, ya....” Lagi-lagi Egi muncul tiba-tiba di depan mejaku.
Aku sedikit terkejut, tapi gembira. Lihat pipiku sudah merona seperti kepiting
rebus.
“Maksudnya?” tanyaku tak paham untuk apa dia berterima
kasih?
“Berkat
kamu yang sudah mengajariku membuat Bir Pletok enak, sekarang aku lulus ujian.”
Aku
mengerutkan kening minta penjelasan. Apakah sudah ada ujian praktek? Kok
kelasku belum ada ujian apa-apa? pikirku.
Senyuman
Egi melebar, “Iya. Aku lulus ujian yang diberikan Pak Anggoro sebagai syarat
untuk memacari anaknya, Risma, siswi sini juga. Dia memberiku ujian membuat Bir
Pletok yang enak, karena Bir Pletok minuman kesukaannya.”
Aku menelan ludah. Semua
gara-gara Bir Pletok.
2 komentar