Sebenarnya tak ada maksud apa-apa aku menulis cerita bertema LGBT seperti ini. Aku hanya melihat cinta dalam sudut pandang lain, cinta dalam arti lain, dan cinta yang sebenarnya.
Dan beginilah aku menuliskan cinta dalam arti lain itu. Tentang sebuah rasa yang perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, apakah memang benar-benar cinta atau bukan. "Dua Cinta", ya, sebagian orang beranggapan pria laksana perahu yang bisa bersandar pada banyak dermaga, pria bisa membagi cintanya.
Cerita ini tidak vulgar kok, hanya bercerita tentang cinta, dan bagaimana menyikapi cinta itu :D
Dua Cinta
Oleh: Reyhan M Abdurrohman
“Kapan
kamu kenalin cewekmu, Bro?” tanya Revan. Matanya masih menatap layar LCD. Tangannya
memegang stick playstation.
Mataku
juga masih terpaku pada layar datar di hadapanku. “Kalau kamu sudah punya
cewek, baru kukenalin ke kamu. Sana cari cewek dulu.”
Lagi-lagi
dia bahas masalah itu. Sudah kubilang berkali-kali, aku akan menunggunya sampai
punya cewek. Karena dia sahabatku.
Aku
memang sudah punya pacar, tapi tidak kukenalkan terlebih dahulu, sebelum dia
juga punya pacar. Sebenarnya aku sudah mengingkari janji kami berdua, itu pun
atas perintahnya.
Kami
berdua pernah berjanji, jika salah satu di antara kami pacaran, maka harus
pacaran semuanya. Begitupun jika putus. Dia membatalkan janji itu, setelah
mengetahui aku punya pacar. Dia tidak marah sama sekali.
Permainan
masih berlanjut. Mata kami berdua masih menatap LCD. Menggerakkan pemain bola,
mencetak gol paling banyak. Sayangnya sampai sekarang belum satu gol pun
berhasil kami cetak. Kami sama-sama kuat.
“Yaudah
cepetan nyari, biar kita bisa double date.”
“Sebenarnya
ada satu sih, yang bikin aku klepek-klepek. Temen baru di tempat les.” Revan
meletakkan stick playstation-nya.
Pipi
Revan terlihat memerah. Ini kali pertamanya bicara cinta. Dia malu-malu, salah
tingkah.
Stick playstation-ku
juga kuletakkan. “Yaudah deketin terus aja. Terus tembak.”
“Nggak
semudah itu kali. Aku juga belum tahu dia, sudah punya pacar atau belum.”
“Makanya
butuh pedekate. Kalau sudah yakin, tembak, deh,” usulku. “Punya fotonya nggak?
Lihat dong.”
“Bentar, deh.” Revan
mengeluarkan HP-nya. Kemudian membuka galeri dan mencari foto cewek yang dia
suka itu. “Nih.” Revan menyodorkan HP-nya padaku.
Matakku terbelalak. Aku
tercekat. Aku kenal cewek dalam foto itu. Bahkan aku kenal baik.
***
Karena
malam minggu kemarin diajak main playstation
sama Revan, terpaksa janji dengan pacarku, kubatalkan. Aku tak mau dia kecewa. Sebagai
gantinya, malam senin ini kuajak dia main sepatu roda di lapangan Simpang Lima.
Cukup
klasik pertemuanku dengan pacarku itu. Saat dia bermain sepatu roda, dia jatuh
di dekatku. Saat kutanya, ternyata ini kali pertamanya bermain sepatu roda. Aku
langsung menawarkan diri untuk membantu berdiri dan mengajarinya bermain sepatu
roda. Dia pun menyetujuinya.
Dari
pertemuan itu, kami semakin dekat. Ada perasaan aneh yang kurasa. Aku pernah
merasakan ini. Dan aku kenal perasaan apa ini. Aku mencintainya. Dan pada
akhirnya aku memutuskan untuk menyatakan cinta padanya, setelah satu minggu
melakukan pendekatan. Cukup singkat memang.
Jelas
Revan tidak mengetahuinya. Aku masih ingat dengan perjanjian itu. Tapi
bagaimana lagi. Aku mencintainya. Revan benar, peraturan itu akan memaksa kita.
Aku senang Revan membatalkan peraturan itu. Tapi aku tetap merahasiakan siapa pacarku,
sebelum dia punya pacar juga.
Damai
berhenti tiba-tiba, saat tengah melaju bersama. “Bi, kapan ngenalin aku ke
sahabatmu itu? Aku penasaran.”
Dialah
Damai, cewek yang berhasil mencuri hatiku. Cewek berambut panjang, berwajah
imut. Kulitnya putih bersih. Seperti orang Cina, tapi dia keturunan jawa asli.
“Kamu
sudah tahu orangnya, kok,” jawabku singkat.
Sebetulnya
aku tidak mau membahas ini. Tapi aku juga tidak bisa menyembunyikan rahasia ini
terus-menerus.
Aku
mengeluarkan HP dari sakuku. Kubuka galeri HP, dan kucari foto sahabat
terbaikku, Revan. Kutunjukkan layar HP-ku pada Damai. “Kamu kenal cowok ini?”
Matanya
berbinar. “Ini Revan, teman lesku. Dia temanmu? Kok bisa foto bareng gitu?”
“Dia
sahabatku. Sahabat terbaikku, yang mau aku kenalkan ke kamu, setelah dia
mendapatkan pacar.” Aku menerangkan.
“Oh,
sabahatmu yang selalu kamu ceritakan itu.”
“Benar.”
“Terus
ada apa?” Damai masih belum paham maksudku.
“Dia
suka kamu. Dia kemarin cerita, semenjak pertama kali bertemu kamu di tempat
les, dia jatuh cinta padamu. Dia sudah bertekad mau mendekatimu, dan
menjadikanmu pacar. Kamu cinta pertamanya.”
“Aku
kan pacarmu?”
“Maka
dari itu. Aku harus pilih salah satu,” ucapku berat.
“Maksudmu?
Aku benar-benar tidak mengerti.” Kening Damai berkerut. Wajahnya tiba-tiba
mendung.
Aku
menatap mata Damai, lekat. “Aku ... aku ingin putus.”
Damai
terkaget. Bahunya berguncang pelan. “Ha? Apa maksudmu?”
“Revan
cinta kamu. Aku tidak bisa mengenalkanmu sebagai pacarku. Aku tidak bisa
menghalanginya, merengkuh cinta pertamanya.” Kalimat itu keluar begitu saja
dari mulutku. Aku sungguh tega padanya, tapi bagaimana lagi, aku harus katakan
ini.
“Kamu
gila. Aku jelas-jelas mencintaimu, begitupun kamu mencintaiku juga, kan?”
“Iya,
aku mencintaimu. Tapi aku tidak bisa. Lebih baik kita putus.”
“Tapi
kenapa? Revan pasti akan mengerti kalau kamu pacarku. Dia bisa cari cewek lain,
kan?!” Suara Damai meninggi. Air matanya tumpah.
Aku
bingung harus bagaimana. Semoga keputusan yang kuambil ini, adalah keputusan
terbaik untuk semuanya. Meski aku harus merasakan sakit yang luar biasa.
“Aku
lebih tahu Revan. Aku tidak ingin persahabatan ini putus.”
“Tapi
aku tidak bisa. Aku terlanjur mencintaimu.” Damai terisak pelan.
“Kamu
bisa, mari kita belajar bersama untuk saling melupakan. Aku pun terlajur
mencintaimu, sangat mencintaimu malah. Karena kamu cewek pertama yang berhasil
mencuri hatiku.”
“Tidak,
aku tidak bisa.” Damai menggeleng.
“Please Damai. Aku melakukan ini semua
karena aku mencintaimu ... juga Revan. Ya, aku mencintai Revan lebih dari
sahabat. Cintaku untuk Revan, sama seperti cintaku untukmu.” Aku menghela nafas.
“Aku ingin melihat kalian berdua bahagia. Aku tidak bisa melihat Revan sakit
hati. Karena aku mencintainya. Terserah kamu anggap aku apa. Cowok ‘sakit’,
atau apalah. Tapi aku jujur. Aku akan tetap memendam rasa ini. Aku pun akan
bahagia melihat kalian berdua bahagia.”
Damai
terkaget untuk kesekian kalinya. “K-k-kamu, gay?”
Aku
memegang kedua pundak Damai. “Terserah kamu anggap aku apa. Yang penting aku
sudah jujur, aku mencintaimu, juga Revan. Aku berbeda, aku punya dua cinta.
Kamu harus mencintai Revan, jika kamu mencintaiku.”
“Tidak,
aku tidak bisa mencintai Revan. Cintaku hanya kamu.”
“Aku
mohon.” []
0 komentar