Dream Alert
Oleh:
Fina Lanahdiana dan Reyhan M Abdurrohman
Aku terus berlari menyelamatkan diri. Padahal aku tidak kenal tempat ini.
Aku pun tidak tahu mengapa aku bisa di sini.
Laki-laki itu terus megejarku. Aku berlari sekuat yang aku bisa. Napasku terengah-engah,
keringat bercucuran, pandangan mataku mulai buram. Tapi aku terus saja berlari.
Melewati sebuah jembatan yang cukup panjang. Lengang. Aku berhenti setelah
merasa aman. Ia sudah tidak mengejarku—laki-laki berbadan tegap, mengenakan
kemeja panjang warna putih berlapis jas hitam, juga mengenakan topi hitam di
kepalanya. Aku mulai berjalan biasa, kemudian bersandar di sisi kiri sudut
jembatan dengan menghadap ke arah sungai yang dipenuhi bebatuan.
Punggungku terhantam keras. Saat itu juga aku hampir terjungkal, kemudian
dengan susah payah membalikkan tubuhku, dan laki-laki itu berada di depanku.
Aku hanya bisa diam di tempat, sementara laki-laki itu kini tak sendiri.
Aku dikepung. Empat orang pria dengan masing-masing menggenggam sebuah senapan.
“Apa mau kalian?” tanyaku ketakutan.
“Serahkan chip mimpi yang
kaupunya, atau ….”
“Chip mimpi apa? Kalian salah
orang.” Aku segera memotong ancaman seorang laki-laki berbadan gemuk dan postur
tubunya tidak terlalu tinggi, tepat berada di samping laki-laki yang mengenakan
topi yang kukira ia adalah bos dari komplotan ini.
Laki-laki yang memakai topi mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Aku
tahu alat itu. Itu pinset. Tapi untuk apa?.
“Pegangi dia!”
Tangan mereka memegangiku, aku tidak bisa melawan. Aku semakin takut saat
pinset itu diarahkan ke belakang kepalaku.
Jleb!
Pinset itu masuk ke dalam kepalaku. Aku tak merasakan sakit yang berarti,
juga tidak ada darah yang muncrat. Hanya terasa seperti
saat sehelai rambut kepala dicabut.
“Dapat.” Laki-laki itu memperlihatkan pinsetnya yang ternyata sudah
menjepit sebuah chip berukuran satu
sentimeter persegi.
“Apa itu? Apa yang kau ambil dari kepalaku?”
“Haha... ini chip mimpi, bodoh!.
Kau tidak layak mempunyai chip ini.
Kau tidak suka bermimpi.”
“Aku memang tidak suka bermimpi. Tapi chip
itu ... apa maksudnya?”
“Haha. Kau tidak akan jadi apa-apa jika tidak bermimpi. Dan kau tidak akan
jadi apa-apa tanpa chip mimpi ini.”
Laki-laki yang memegang pinset itu menyeringai, kemudian menatap ke arah tiga temannya
itu. “Ayo kita pergi.”
Semuanya mengagguk dan sedetik kemudian mereka menghilang.
Peristiwa ini aneh. Chip mimpi,
aku tak percaya mimpi. Dari mana mereka tahu? Siapa mereka sebenarnya?
Aku berdiri. Ini tempat yang luar biasa. Ini seperti dunia modern.
Gedung-gedung pencakar langit berjejer rapi. Pohon-pohon tertata rapi. Berikut
bunga-bunga yang bermekaran di depan gedung mewah itu. Tidak seperti di kota
besar. Banyak gedung, berarti mengusir populasi pohon dan tanaman. Tapi tidak
di sini. Tempat ini sejuk.
“Ini seperti dunia mimpi.” Aku ternganga melihat ini semua. “Ups, aku tak
percaya impian. Karena itu semu, seperti tempat ini. Aku pasti sedang
bermimpi.”
Tapi ini bukan mimpi, tadi saat
pinset itu masuk ke kepalaku, aku merasakannya. Berarti aku sedang tidak
bermimpi. Aku tersesat di dunia yang ... ah entahlah.
***
Aku masih menekuri jalan aspal yang sepi. Tidak ada satu pun orang yang
lewat. Dan aku masih tidak mengerti dengan semua ini.
Ada layar LCD besar terpasang di gedung setinggi empat lantai di depanku. Layar
itu tidak hanya satu. Menakjubkan. Sungguh, kota aneh ini begitu kaya raya. Di salah
satunya aku melihat diriku. Seperti sebuah film dokumenter tentang kehidupanku.
Aku jadi berpikir apakah aku pernah main film sebelumnya? Kurasa tidak. Tapi
apa maksud semua ini?
Aku harus masuk ke gedung itu dan
mencari tahu semuanya. Aku
membatin. Mataku masih menatap layar lebar di hadapanku, tak mengerti.
“Kau mencari sesuatu?” Aku
dikagetkan oleh kehadiran seorang gadis berambut panjang, di depanku.
“Eng … kau siapa?
“Namaku Fulan. Kau penduduk baru di kota ini?”
Aku mengerutkan kening. “Penduduk baru? Maaf aku tidak mengerti.”
Jujur saja aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dikatakan gadis
itu. Entah wajah polos seperti apa yang kutunjukkan padanya.
“Baiklah,
aku Alfaro. Kau bisa bercerita
sesuatu kepadaku tentang kota ini?”
“Ya, jika kaumau mendengakan ceritaku.”
“Tentu saja. Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat ini. Aku tersesat.”
“Tersesat?” Fulan tampak terkejut sekali, kemudian ia tertawa.
“Ya, mungkin. Segerombolan orang tiba-tiba mendatangiku dan mencuri benda
aneh di kepalaku. Mereka menyebutnya sebagai chip mimpi. Aku bahkan tidak paham apa itu.”
“Kamu benar, di sini orang-orang memiliki chip mimpi yang disimpan di dalam kepala. Chip itu akan menyimpan banyak hal pada setiap mimpi-mimpi yang
dipikirkan orang-orang.”
“Lalu gedung itu?” aku menunjuk ke arah gedung megah berlantai dua belas bertulisakan “Libdreambiblio”, tepat di
hadapanku.
“Itu museum mimpi. Kami biasa menyebutnya ‘Libdreambiblio’.”
“Museum mimpi?” Aku semakin tidak mengerti.
“Ya, tempat itu menyimpan mimpi-mimpi yang sudah terbuang dan tidak lagi
diharapkan oleh pemilknya.” Gadis itu menjelaskan. “Kenapa kamu tidak ingin
bermimpi?” tanya gadis itu.
Aku tercekat. “Dari mana kautahu?”
“Chip-mu diambil, kan? Kau tidak
akan bisa bermimpi lagi. Kau diberi waktu 24 jam untuk mencari chip-mu lagi. Jika tidak kamu akan
selamanya tidak punya mimpi dan menetap di sini seperti aku.”
“Omong kosong!”
Wajah gadis itu tampak khawatir. “Tidak. Aku serius. Kau punya waktu 24 jam
untuk mengubah pikiranmu, cepat cari chip-mu
itu dan kau akan kembali ke duniamu yang sebenarnya, mewujudkan mimpimu.”
“Aku tidak percaya mimpi yang terwujud.”
“Apa kamu tidak percaya orang-orang sukses yang berawal dari mimpi? Kau
bisa ke museum mimpi untuk melihat rekaman itu. Ayo ikut aku.”
“Tunggu dulu, kau serius tentang ceritamu?”
“Serius, jika dalam waktu 24 jam kau tidak mendapatkan chip-mu, chip itu akan
dibakar.”
Aku ternganga, semakin tidak paham.
“Tentu saja, seperti halnya sampah. Chip
yang tidak berguna akan segera dimusnahkan. Chip
orang-orang yang tidak percaya mimpi.”
Aku mengikuti langkah Fulan menuju gedung megah itu. Hatiku was-was, karena
aku belum seratus persen memercayai gadis ini, dan semua ini.
Di dalam gedung aku melihat banyak LCD yang berjajar rapi. Di sana ada
rekaman orang-orang sukses. Seperti film inspiratif.
“Mereka semua yang berhasil, karena mimpi,” terang Fulan, “apa kau tetap
tidak percaya?”
“Tidak, mereka memang ditakdirkan sukses,” jawabku ketus.
“Haha, bukan. Mereka punya kegigihan untuk mewujudkan mimpinya. Jika tidak
manusia yang mengubah nasibnya, siapa lagi? Waktumu tinggal 12 jam lagi. Cepat
cari orang itu, sambil kau pikirkan keputusanmu, di sini atau pulang, bermimpi
atau menjadi orang tak berguna sepertiku,”
“Di mana aku bisa mencarinya?”
“Di gudang mimpi. Ruangan paling atas gedung ini.”
Tak memperdulikan Fulan yang masih berbicara, aku langsung berlari, naik
lift ke lantai paling atas. Sekarang yang menjadi keinginanku adalah kembali ke
duniaku. Waktuku tidak banyak.
Sampai di lantai paling atas, aku tak menemukan siapapun. Di ruangan itu
hanya ada tumpukan lemari bertulisakan Gudang Mimpi.
“Tidak mungkin aku meneliti satu persatu. Lagipula bentuk chip itu sama. Semua sama. Ah!” Aku
menggerutu.
Seperti penyimpanan arsip. Pasti ini disusun berdasarkan tanggal, jam dan
nama. Aku bisa menelusurinya satu-persatu pada tanggal hari ini. Untung aku
ingat, pernah mendapatkan mata kuliah kearsipan.
Aku langsung menekuni satu demi satu lemari dan tulisan. Sampai pada tanggal
hari ini. Kupilah dan kucari abjad namaku. Tidak kutemukan. Aku sangat bingung.
Tiba-tiba laki-laki yang mengambil chip
dari kepalaku, muncul di belakangku. Suaranya besar, menggelegar, memanggil
namaku.
“Mana chip-ku?” sergahku.
“Buat apa? Kau tidak suka bermimpi.”
“Aku ingin pulang. Cepat kembalikan chip
itu! Aku ingin bermimpi.”
“Bohong. Kau sudah menyerah, tidak lagi meneruskan mimpimu menjadi seorang
wirausahawan. Bodoh. Harusnya kau gigih membangun kepercayaan para investor.”
Aku terdiam. “Dari mana kau tahu?”
“Bodoh. Aku sudah membaca chip-mu.
Kau gampang putus asa dan cepat menggulung mimpi. Kau memang lebih cocok tidak memiliki chip itu.”
Aku tertunduk, berlutut. “Aku memang ingin punya kafe yang memiliki
karyawan dan membahagiakan orangtua. Kau akan mengembalikan chip-ku, kan? Aku sudah bermimpi seperti
keinginanmu.”
“Tentu saja, tapi kau harus mengambilnya sendiri. Waktumu tinggal 8 jam
lagi.”
“Di mana?”
“Di sebuah tempat yang membawa orang-orang menuju jalan kesuksesan.”
“Aku tidak tahu. Kau gila. 8 jam terlalu singkat untukku yang tak banyak
mengenal tempat ini.”
“Itulah, kenapa kamu lebih cocok disebut sebagai pecundang. Orang malas
hanya mencari alasan, sementara orang cerdas akan mencari jalan.”
Laki-laki itu meninggalkanku sendirian. Aku tidak tahu lagi apa yang harus
aku perbuat untuk menyelamatkan diriku juga mimpi-mimpiku. “Arrrgh!” Aku
terduduk lesu sambil memegangi kepalaku.
“Apa yang dia katakan?” Fulan telah berada di depanku. Rupanya dia
mengejarku tadi.
“Tempat yang membawa orang-orang menuju jalan kesuksesan. Dan waktuku hanya
tinggal 8 jam.”
“Kau harus cepat! Aku tahu di mana tempat itu.”
Fulan membawaku menyusuri sebuah hutan yang rindang. Tidak ada siapa-siapa,
kecuali binatang-binatang aneh yang belum pernah kulihat sebelumnya. Makhluk
itu menatap tajam ke arah kami. Kami terkepung.
“Hati-hati, mereka buas,” bisik Fulan tepat di telinga kiriku.
“Apa maksudmu? Mereka akan membunuh kita?”
“Ssst….”
“Kita tidak punya senjata.”
“Pikirkan sesuatu, cepat!”
“Aku tidak bisa, dalam keadaan panik seperti ini.”
“Jangan mengeluh, cobalah dulu!”
“Kau sama bawelnya dengan orang tuaku.”
“Cepat pikirkan sesuatu atau kita akan mati, di sini!”
Beberapa ekor binatang atau mungkin punya sebutan lain yang aneh: berbadan
tipis seperti tumpukan kertas dengan kepala runcing menyerupai pensil dan
berkaki balok pendek menyerupai penghapus semakin mendekati kami. Mengepung.
Aku berbalik badan, hingga posisiku dan Fulan saling berpunggungan. Memasang
kuda-kuda dengan kedua tangan membentuk kepalan tinju.
Aku segera memejamkan mata untuk memikirkan sesuatu yang entah apa aku
sendiri tidak bisa menyebutnya. Dalam waktu kurang lima menit, telapak tanganku
menggenggam sebuah benda berbentuk balok berukuran enam belas sentimeter
persegi berwarna silver. Ada tiga tombol
berwarna merah, hijau, kuning. Seperti lampu lalu lintas.
“Sudahkah kamu memikirkan sesuatu?”
“Ya.…”
“Apa?”
“Tidak tahu. Sebuah benda kotak dengan tombol berwarna menyerupai lampu
lalu lintas tiba-tiba muncul di genggamanku.”
“Bagus! Tekan tombol berwarna merah, dan mereka akan berhenti mengganggu
kita.”
Aku segera menuruti perintah Fulan.
Menakjubkan. Mahluk aneh itu berhenti bergerak, beku seperti patung-patung
es di snow world.
“Ini hebat!” Aku mengetuk-ngetuk mahluk aneh yang membeku.
“Benda itu bernama Dream Alert. Nanti setelah kau mendapatkan kembali chip mimpimu, kau bisa kembali ke
duniamu menggunakan benda itu. Kau masih punya waktu tiga jam!”
“Tempat itu masih jauh?” tanyaku segera.
“Sedikit lagi. Pikirkan sesuatu yang bisa membawa kita ke tempat itu lebih
cepat!”
Aku memikirkan sebuah pintu yang bisa membawa kami ke mana saja. Ini
konyol, tapi aku benar-benar mendapatkannya di depanku.
Fulan menyebutkan sebuah tempat. Lalu kami seperti terhisap ke suatu
lorong. Tidak lama, sekitas lima belas menit, kami sudah sampai.
***
Tempat yang aneh, di sini orang-orang tidak berhenti bicara. entah apa yang
mereka katakan. Mereka seperti orang yang tengah berpidato pada diri sendiri.
“Ini tempat apa?”
“Ini tempat di mana orang-orang meluruskan niatnya untuk bersungguh-sungguh
meraih mimpi. Mereka memang tak berhenti bicaran untuk diri mereka sendiri.”
“Memangnya tidak lelah?”
“Tidak tahu.”
“Di mana chip mimpiku?”
“Pikirkan mimpi yang paling membuatmu bahagia. Setelah itu bayangkan chip itu ada di hadapanmu!”
“Kenapa tidak dari tadi saja melakukannya?” Aku sedikit kesal.
“Chip-mu disembunyikan di sini,. Password-nya adalah mimpimu yang paling
bahagia.”
“Kau datang juga rupanya.” Laki-laki pencuri chip itu mengagetkanu. “Kau tidak akan bisa kembali mengambil chip-mu.”
“Aku tahu kau hanya ingin merubuhkan mimpi yang telah aku bangun, kan? Kau
takut dengan kembalinya aku ke dunia asalku. Kau takut jika aku berhasil
merengkuh mimpiku, kan? Karena kau adalah mimpi buruk. Itulah sebabnya kau
mencuri chip-ku. Karena aku pernah
punya mimpi yang sangat membahagiakan.”
Aku tidak lagi membiarkan laki-laki itu banyak bicara. Cepat-cepat aku
mengingat mimpi yang bahagia. Lama sekali, belum juga kutemukan. Sementara
waktu yang tersisa semakin sedikit.
“Aku mendapatkannya!” Mulutku berbicara dengan mata terpejam.
“Waktumu tinggal 10 menit lagi. Tekan tombol berwarna hijau di Dream Alert
jika kamu sudah mendapatkan mimpimu!
“Tapi, bagaimana denganmu?”
“Kita akan bertemu di mimpi yang lain. Percayalah.…”
Ada yang menggenggam lenganku, kekar dan kuat. Ini pasti laki-laki
pencuri mimpi itu. Aku segera menekan tombol hijau. Chip-ku muncul, mengambang di hadapanku, masuk dalam kepalaku. Aku
merasakan tubuhku berangsur menghilang. Aku lupa berterima kasih kepada Fulan. []
Tentang Partner Duet (Fina Lanahdiana)
Fina Lanahdiana, lahir di Kendal 19 Februari 1992. Coretannya
dapat diintip di blog www.filadina.blogspot.com.
0 komentar