Benturan Idealisme dengan Lembaga Sensor Film (LSF)
Reyhan M Abdurrohman dan Baiq Cynthia
Perkembangan film Indonesia
benar-benar melesat. Buktinya beberapa film garapan sineas dalam negeri mampu
bersaing di kancah internasional. Penghargaan festival film di luar negeri pun
sudah banyak mereka dapatkan. Faktanya, karya hebat mereka justru tidak bisa
dinikmati di bioskop dalam negeri, karena berbenturan dengan Lembaga Sensor
Film yang dinilai sangat ketat dalam menjaring film, tayangan yang hendak disebarluaskan
kepada penikmat film tanah air. Kenapa? Bukankah itu prospek cerah bagi
perfilman di dalam negeri.
Menarik untuk dikupas lebih dalam.
Mengingat film merupakan tayangan yang tidak hanya sebagai hiburan, tapi media
menyampaikan gagasan kepada penikmatnya yang dikemas dalam suguhan menarik.
Sependapat dengan Effendi (1986) yang mengartikan bahwa film adalah hasil
budaya dan alat ekspresi kesenian, sehingga film memang penting keberadaannya
sebagai sarana berekspresi dan berkebudayaan. Maka tidak heran jika muncul film-film
“jujur” yang terkadang tidak bisa diterima karena terlalu sensitif untuk
ditayangkan di Indonesia yang notabene majemuk dan berkebudayaan timur.
Tim Lembaga Sensor Film tentu selektif
dalam meloloskan sebuah film agar tayang di muka khalayak dengan pertimbangan sangat
matang. Ini tidak sembarangan, karena akan memberikan dampak yang sangat terasa
pada rumah produksi. Rumah produksi tentu enggan rugi, di sisi lain terkadang
keputusan LSF dinilai merugikan karena memberikan pilihan; disensor, diubah,
atau bahkan tidak tayang sama sekali. Jika tidak bisa tayang di dalam negeri,
mungkin jalan yang bisa diambil adalah melebarkan sayap ke luar negeri yang
sebenarnya tantangannya tidak mudah, mengingat pesaing semakin banyak.
Rupanya, keuntungan yang besar atau
minimal balik modal dari jumlah tiket yang terjual ternyata bukan menjadi
tujuan bagi beberapa sineas. Mereka tetap menomorsatukan idealisme yang
diusung, meski terkadang berbenturan dengan peraturan yang sudah diatur oleh
LSF. Atas nama kejujuran. Bisa jadi film yang dibuat tersebut memang sengaja
tidak ditayangkan di dalam negeri, diikutkan pada ajang festival internasional sebagai
cara mukhtahir. Mereka peka konsekuensinya, apa yang diangkat adalah hal tabu cenderung
menimbulkan kontra. Hebatnya di balik niatan merekalah malah mendapat penilaian
plus di luar negeri hingga mengantongi berbagai penghagaan bergengsi.
Film About a Woman (2014) garapan
Teddy Soeriaatmadja yang terpaksa tidak tayang di bioskop Indonesia contohnya. Sang
sutradara tidak bersedia jika beberapa adegan ditiadakan oleh LSF. Menurut sang
sutradara ini akan mengurangi esensi narasi cerita tersebut. Film yang menceritakan
kisah janda 65 tahun yang diperankan oleh Tutie Kirana yang merasa kesepian
karena ditinggal pembantunya. Anaknya yang tak tinggal bersamanya mengirimkan
sosok Abi yang baru lulus SMA untuk menemani. Namun di luar dugaan, karena rasa
kasih sayang yang tak biasa hadir di antara mereka. Suguhan konflik
seksualitas, agama yang dinilai kontroversi bikin film ini dibilang cukup
berani. Pada akhir 2014 film ini diputar padaWorld Premiere di Singapore
International Film Festival 2014.
Tema Kontroversi dan Sensitif
Sebenarnya, peraturan tentang
perfilman sudah diatur sedemikian rupa memberikan batasan-batasan sebuah
tayangan dapat diterima dan bisa dijadikan konsumsi publik. Sutradara sebenarnya
sudah mengetahui mengenai batasan tersebut tidak bisa dilanggar, jika besutan
karyanya tetap ingin mejeng di dalam negeri. Idealisme yang mendobrak peraturan
tersebut harusnya bisa ditekan. Pada praktiknya, masih banyak sineas yang tetap
memperjuangkan idealisme, dengan mengatasnamakan kejujuran dan penyampaian
gagasan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2009 Tentang Perfilman Pasal 19, yang berbunyi; film dan reklame akan
ditolak jika mengandung salah satu adegan yang dilihat dari segi sosial dan
budaya menampilkan ketelanjangan dari segala sisi, close up alat
kelamin, buah dada, dan pantat, ciuman yang merangsang, onani, oral, dan seks
sesama jenis, dll. Maka jika kita melihat film Parts of The Heart(2012)
garapan Paul Agusta yang mengangkat cerita homoseksual jelas tidak akan bisa
ditayangkan di Indonesia. Film ini menceritakan kehidupan Peter yang seorang
homoseksual dalam menjalani hidupnya; pengalaman seksual pertama, tekanan
sosial, kematian pacar, hingga konflik jangka panjang dikemas apik yang dibagi
dalam delapan bab berhasil mendapatkan banyak penghargaan di luar negeri, salah
satunya adalah Festival Film Internasional Rotterdam 2012.
Tema homoseksual yang juga diangkat
The Sun, The Moon and The Hurricane(2014) yang disutradarai Andri Cung
ternyata memang sengaja tidak ditayangkan di bioskop Indonesia, tapi sudah
mengantongi prestasi di luar negeri. Film yang menceritakan kisah Rain (William
Tjokro) yang menemukan jati dirinya sebagai seorang homoseksual dan sadar jika
sejak SMA dia menyukai Kris. Perasaan itu ditahannya bahkan sampai dia mendapat
kabar jika Kris akan menikah dengan wanita di Bali. Film ini pernah tayang
perdana pada Jogja-Netpac Asian Film Festival 2014 dan mendapat pernghargaan
sebagai Official Selection serta nominasi sutradara baru terbaik pada Vancouver
International Film Festival 2014.
Film semacam ini tetap bisa
diterima di luar negeri, khususnya negara-negara yang tidak terlalu
mempersoalkan tetang LGBT tapi tetap tidak melegalkan pernikahan sesama jenis.
Sebut saja Thailand yang menjamur film dan tayangan berbau homoseksual.
Bukannya dilarang pemerintah dan dapat penolakan dari masyarakat, malah film
dan tayangan serupa tersebut digemari, mendapatkan banyak penghargaan juga fans.
Sebut saja film The Love of Siam, yang mengantarkan sang aktor Mario Maurer
menjadi lebih terkenal dan memacu munculnya film dan tayangan serupa. Lembaga
sensor di Thailand lebih memberikan keleluasaan terhadap sineas, asal tetap
tidak mempertontonkan adegan dalam ranah privasi. Masyarakat tidak melakukan
penolakan, bahkan diketahui penikmatnya kebanyakan remaja putri yang merupakan
dominansi pasar film.
Gagasan yang ingin disampaikan
sutradara lewat filmParts of The Heartdan The Sun, The Moon and The
Hurricane serta film serupa lainnya bukanlah tentang pembenaran homoseksual
semata atau memperlihatkan seksualitas, mereka sekedar memberikan pengetahuan
kepada khalayak tentang keberadaan kaum tersebut, termaginalkan kaum minoritas
dan gejolak-gejolak yang dialami mereka, serta menyisipkan pesan penting sebagai
tujuan sang sutradara. Apa boleh buat, film tersebut tetap dilarang tayang,
meski penghargaannya sudah berderet.
Kritik sosial pada suatu kelompok
atau golongan yang lebih dari 50% pada sebuah film maupun tayangan tidak
diijinkan lolos oleh Lembaga Sensor Film. Sehingga, menyebabkan film Babi
Buta yang Ingin Terbang atau dalam judul di luar negerinya menjadi Blind
Pig Who Wants to Flygagal tayang di Indonesia. Film yang rilis tahun 2008
ini lahir dari tangan dingin Edwin, dengan pemeran utama Ladya Cheryl dan Pong
Hardjatmo. Menceritakan seputar etnis Tionghoa di Indonesia yang diwakili oleh
beberapa tokoh di dalamnya. Kisah yang dirangkum dalam durasi 77 menit memberikan
pesan tentang delapan karakter serta mozaik bagaimana menjadi seorang keturunan
Tionghoa di Indonesia. Penghargaan yang telah diraih diantaranya; Rotterdam
International Film Festival 2009 (Fipresci
Prize), Singapore International Film Festival 2009 (Fipresci/Netpac Award), Pusan International Film Festival 2008 (Nominated New Currents Award), Nantes
Three Continets Festival 2009 (Young
Audiece Award), terakhir Jakarta Film Festival 2009 (Best Director).
Sebuah film garapan Teddy
Soeriaatmadja, berhasil menuliskan sejarah dalam Berlin International pada tahun 2013 sebagai World Premiere. Dibintangi oleh aktor kondang—Reza Rahardian dan
Ratu Felisha. Film yang sarat dengan tontonan vulgar, memicu adanya gejolak
sosial sehingga tidak diperkenankan hadir di bioskop Indonesia. Something in
The Way (2013) merupakan judul film yang mengangkat tema agama, konflik
yang cenderung menuai kontra, dengan memvisualisasikan erotis. Sang sutradara
mengaku, film ini memang sengaja tidak diedarkan di Indonesia, karena dia
menyadari tak akan lolos dari LSF.
Film Tanda Tanya garapan
Hanung Bramantyo. Memasukkan banyak tokoh utama yang memiliki perbedaan dalam
agama. Bisa dibilang masyarakat Indonesia sangat sensitif dengan SARA, tapi
film ini adalah gambaran real Indonesia. Tokoh utama Menuk yang beragama
Islam bekerja pada restoran China yang beragama Konghucu. Suaminya Soleh yang
Islam menjadi Banser NU yang terkadang ditugaskan mengamankan acara seremonial
agama lain, seperti perayaan natal. Tapi, dalam film yang sarat dengan nilai
moral tak benar-benar bermaksud mengajak penonton untuk bermusuhan, seperti
pada karakter Hendra yang menjadi tokoh antagonis.
Bila ditonton secara keseluruhan,
nilai moralnya tentang, “Biarkan masing-masing individu memiliki cara menemui
Tuhannya sendiri.” Kutipan dari skenerio film Tanda Tanya. Tak terhitung
kritikan dituai dari kelompok muslim Indonesia, tentang isi pesan plurarisme.
Film yang diputar secara Internasional ini mendapatkan nominasi pada sembilan
Piala Citra di Festival Film Indonesia (2011), tapi ruang publikasinya
terpangkas di negeri sendiri.
Lolos dari LSF
Diadakan Festival Film Indonesia,
menjadi ajang ekplorasi sinema yang menaikkan citra film di Indonesia. Meski
beberapa malah laris di luar negeri, daripada di rumah ibu pertiwi. Terlepas
dari peraturan LSF yang begitu ketat terhadap konten; pornografi, pornoaksi,
SARA, maupun LGBT, merupakan sebuah kewajaran tetap memerhatikan kultur budaya
bangsa. Sebagai negara yang memiliki pedoman sila pertama Ketuhanan Yang Maha
Esa, jelas melarang adanya penyelewengan dengan konten negatif. Narasi film
yang tidak sesuai dengan moralitas bangsa jelas akan dihapus. Meski tak sedikit
yang menjadi sasaran LSF; seperti adegan kekerasan yang menumpahkan darah, akan
di-blur, termasuk film pendatang luar negeri yang mengambil lebih banyak
cerita vulgar juga akan dipotong. Akhirnya beberapa film yang ditayangkan, akan
kehilangan sisi menariknya.
Toleransi sangat penting dalam
pembuatan sebuah film yang mengangkat isu panas. Tidak melulu tentang idealisme
yang harus terwujud, tapi setidaknya bisa diwakili dengan pengadeganan yang
masih bisa ditolerir oleh LSF, sehingga dapat diterima di dalam dan di luar
negeri.
Pengabdi Setan
sudah pernah ditayangkan di era 1980-an. Karena tingkat kengerian, efek horor
yang terlalu mencekam. Akhirnya pada masa tersebut film pengabdi setan
ditayangkan secara terbatas. Joko Anwar selaku sutradaraPengabdi Setan (2017)
mengaku bahwa tak mudah bagi sang sutradara meyakinkan Rapi Films untuk merilis
film yang membutuhkan satu dekade me-remake
menjadi lebih fresh. Film horor sejak
setelah tahun 2000-an identik dengan kesan horor campuran. Bahkan cenderung
menyisipkan adegan blue-ray.
Setelah sukses ditonton lebih dari
2.8 juta penonton (akan terus bertambah), Pengabdi Setan tetap memiliki
kekurangan dari segi efek visual. Sang sutradara tidak ingin bermain dengan CGI
(ComputerGeneratedImagery). Baginya
cukup efek-efek alami yang muncul dalam film yang berdurasi 107 menit. Sebagai
contoh, rumah kuno di daerah Pengalengan yang menjadi visualisasi cerita,
benar-benar ditajamkan. Demi menjaga nuansa horor yang mencekam. Meski tak
menjelaskan dengan budget yang dihabiskan, sang Produser—Sunil memastikan lebih
dari 2 Milyar.
Padahal akan lebih ‘liar’ dan penuh
fantasi jika efek tersebut ada. Film-film yang sukses di Hollywood, lebih banyak menggunakan efek CGI selain mengurangi
resiko adanya cedera para pemain, memangkas biaya produksi. Seperti film Jurassic Park, tidak perlu menghadirkan
dinosaurus asli. Pada film legendaris yang mengambil setting tempo dulu, pun
hanya cukup menyediakan transportasi kuno. Tak perlu mencari lokasi yang
sesuai. Apa pun itu, Pengabdi Setan berhasil diterima di dalam negeri
bahkan rencananya akan tayang di beberapa negara di Eropa dan Asia.
Jika hal tabu, kekerasan, berbau
vulgar pun bisa di-remake total pada
sebuah film yang pernah dilarang keras peredaran secara kormesial. Maka catatan
penting bagi sang sutradara, untuk lebih memajukan seni dalam sinematografi
tanpa harus melawan arus peraturan penyiaran dan pertelevisian. Sebut saja
film-film laris seperti Ayat-Ayat Cinta, mengambil isu sensitif seperti
perbedaan agama. Tak lantas menjadi dicekal oleh LSF, karena dominansi nilai-nilai
spiritual yang lebih dikukuhkan dan dikemas secara halus tanpa menyinggung
pihak lain. Film Laskar Pelangi yang diangkat dari kisah nyata, perjuangan
anak-anak mencapai kesuksesan. Anak-anak yang notabene harus dilindungi dan
diberi kesempatan menuntut ilmu yang layak. Justru film ini sangat inspiratif,
berkenaan dengan porsi kekerasan tidak ada dalam film tersebut.
Kebijakan negara pun penting dalam
menetapkan standar diterimanya sebuah film atau malah dicekal. Seperti film
2012, cerita tentang berakhirnya dunia bumi—terjadinya kiamat. Tidak dapat
diterima di negeri China pada saat itu. Karena bertepatan dengan adanya
perayaan suci yang melarang adanya isu-isu negatif, yang khawatir akan
mengganggu ketenangan penduduk di negeri Tirai Bambu.
Percaya dan yakin Indonesia kelak
bisa menjadi penghasil sinema yang bermutu juga diterima di negeri sendiri.
Perlu dukungan yang besar dari pegiat-pegiat seni perfilman, maupun masyarakat
demi mewujudkan itu semua. Masyarakat harus ikut berperan aktif menghidari
pembajakan film, membeli produk asli, demi meningkatkan citra film. Mengurangi
mengedarkan secara ilegal melalui internet pada masa pemutaran film di bioskop.
Sineas juga diharap lebih pandai memaparkan gagasannya tanpa harus berbenturan
dengan LSF, agar karyanya tetap bisa dinikmati di dalam negeri dan gagasannya
dapat diterma dengan mudah.
Jika karya lokal tak bisa dinikmati
sendiri, lalu buat apa dibuat? Akan tersampaikan ke mana gagasan atas nama
idealisme itu?
*) tulisan ini adalah salah satu tugas seleksi Unsa Ambassador 2018
4 komentar
Kadang LSF suka berlebihan dalam sensor film, padahal kan harusnya kalau sudah dikasih himbauan age rate gak usah terlalu ketat sensornya.
ReplyDeleteBahkan kartun pun banyak yang kena sensor :(
DeleteYah betul sekali. Menurutku sensornya keterlaluan. :( Ynag bikin males nonton TV gara-gara sensor filmnya itu yang keterlaluan.
ReplyDeleteNonton youtube aja Mbak :D
Delete