Perempuan di Tikungan
Oleh : Reyhan M
Abdurrohman
Terlihat orang-orang
mengerubungi sesuatu tepat di tikungan jalan di bawah pohon beringin besar.
Kata orang-orang itu adalah pohon angker, banyak setannya. Lantas mengapa
orang-orang malah mengerubungi pohon angker tersebut, apakah ada kuntilanak
jatuh dari pohon, atau tuyul yang tertangkap saat mencuri dan tidak bisa
melarikan diri lantaran terjatuh saat hendak naik ke pohon beringin tersebut.
Aku terusik untuk melihatnya, karena penasaran.
Kasak-kusuk kudengar
dari orang-orang, ternyata motor yang menabrak pohon. Aku sedikit kecewa,
kukira ada peristiwa heboh apa. Hanya orang dungu yang naik motor bisa menabrak
pohon di siang bolong begini. Paling juga orang mabuk, sudahlah tidak usah
ditolong.
Sempat sedikit
tertangkap mataku tentang kondisi motor tersebut. Bagian depan motor bermerek
Supra tersebut remuk. Ada darah yang mengalir di punggung jemari kanan si
pengendara, karena terjepit. Kucuran darah juga mengalir dari mulut pengendara
tersebut. Itu pasti darah yang muncrat gara-gara dadanya menghantam speedometer
depan. Sepertinya dia masih hidup. Dadanya masih terlihat kembang-kempis, meski
melemah. Kaki kanan berlumuran darah karena terjepit motor. Darah segar. Aku
bergindik ngeri. Bulu kuduku berdiri. Cepat saja aku berbalik tak melihatnya
lagi.
“Bawa ke rumah sakit,
bawa ke rumah sakit.” Lelaki berperawakan tambun—penjual kopi tadi—berteriak-teriak.
Aku mundur satu
langkah. Kuakui, aku takut darah. Apalagi darah segar yang amisnya masih
menyengat. Aku mundur lagi. Biar mereka yang mengurusnya.
Waktu umurku tiga tahun
lalu, aku pingsan gara-gara melihat darah yang mengucur dari lututku karena
terjatuh. Dan takut itu terbawa sampai sekarang—punya anak dua.
Dugaanku tentang
pengendara mabuk mungkin salah, karena tak tercium bau alkohol, oplosan dan
minuman keras lainnya. Meski aku bukan pemabuk, tapi aku hatam bau-bau minuman
tersebut. Si Jupri tetangga samping rumah sering sekali mabuk di rumahnya,
sampai tetangga geram melihat kelakuannya, tapi tak ada yang berani menegurnya,
termasuk ketua RT Mardi.
Semakin ramai saja
orang yang menonton. Apa ini? kenapa tidak ada yang menolong. Bapak penjual
kopi tadi, terus saja berteriak minta tolong, tanpa beraksi. Percuma saja kau,
Pak. Orang itu bakal mati kesakitan.
***
Sekarang aku sudah
berada di warung kopi di seberang jalan. Menonton dari kejauhan seperti ini
lebih aman. Aku tak harus melihat darah, juga jika ada polisi nanti, tidak akan
dimintai keterangan sebagai saksi. Masa bodoh dengan itu. Masa bodoh dengan
nasib orang itu. Itu sudah takdirnya, mati tidak elit seperti itu.
Tunggu dulu. Aku
melihat perempuan cantik berambut panjang dengan gaun model kuno, di antara
penonton yang mengerubungi lokasi kejadian. Dia berjalan ke arahku. Mau apa dia?
Tapi lumayan juga.
“Hei... sendiri, Mas?”
Perempuan itu tiba-tiba
duduk di dekatku. Aku kelabakan karena kaget. “Iya, semua lagi pada nonton
orang tabrakan. Heran deh, kenapa ditonton bukannya ditolong. Tuh, Bapak itu
teriak terus dari tadi, tanpa aksi nyata.”
“Mas sendiri tidak
nonton atau menolong?”
Eits. Apa peduli dia?
Itu urusanku. “Tidak, saya takut darah. Mending ngadem di sini saja. Aman.”
“Oh... kasihan ya
pemuda itu. Polisi tidak datang-datang. Tidak ada yang nolong dari tadi. Bisa mati itu orang kalau tidak ada yang
nolong.”
Aku tak peduli apa yang
dikatakan perempuan asing itu. Dia mati, jadi setan, atau apalah, aku tak
peduli. Aku memilih diam saja. Ah, paling malas jika harus ngomongin hal yang
sama sekali tak membuatku tertarik.
Tak lama, suara sirine
mobil polisi terdengar meraung-raung—mendekat ke lokasi. Semakin dekat,
suaranya semakin memekakkan telinga. Aku memandang ke arah kerumunan orang itu
lagi. Setelah sampai, polisi-polisi dengan seragam kebanggaannya turun dari
mobil, dan sigap membentangkan garis polisi berwarna kuning di sekitaran lokasi
kejadian. Namun tidak sigap menyelamatkan pemuda itu. Kasihan.
“Ah, bodoh! Itu kenapa tidak
langsung di tolong. Bisa mati dia.”
“Masnya tidak ke sana?”
Kenapa aku malah
ngurusin pengendara sekarat itu? tidak-tidak, biarkan saja dia.
“Tidak.”
“Ikut saya saja mau?”
“Ke mana?”
“Ikut saja.”
Seperti terhipnotis
saja, aku mengangguk, mengiyakan ajakan perempuan yang bagiku cantik itu.
Tubuhnya molek, riasanya sederhana, mempesona. Ia menggandengku, berjalan ke
arah kerumunan orang di tikungan.
“Kok malah nonton?”
“Tidak, kok. Ikut
saja.”
Aku pasrah saja.
Itung-itung rejeki. Lagian jika diperhatikan lagi, perempuan itu benar-benar
cantik. Matanya indah, bibirnya mungil. Meski gaya berpakaiannya ketinggalan
jaman. Kami terus berjalan, menerobos garis polisi yang membentang. Sekarang di
depan kami, pohon beringin yang menjulang.
“Ayo.”
“Ini pohon, sudah
mentok.”
Perempuan tersebut
malah tersenyum kemudian mendorongku menabrak pohon tersebut. Ajaib. Aku masuk ke
dalam pohon itu, dan keluar kembali. Hebat. Seperti melewatinya begitu saja.
Selang sebentar, perempuan itu menyusul. Tunggu dulu, aku sekarang berada pada tempat
yang berbeda dari tadi. Tempat apa ini? Seperti hutan belantara. Hanya ada
tikungan jalan setapak yang tak terlalu lebar.
Apakah ini dunia lain?
Semacam dunia paralel yang saling terhubung dengan bumi. Dan pohon tadi adalah
penghubungnya. Ajaib.
“Tempat apa ini?”
“Masih di tempat yang
tadi.”
“Tapi kok beda?”
“Sama, hanya waktu yang
berbeda.”
“Maksudnya?”
“Kamu akan tahu sendiri
nanti.”
Aku semakin bingung apa
maksud perempuan ini. Ah. Kenapa juga tadi aku mau saja diajak dia. Terus
bagaimana aku kembali. Bagiaman dengan istri dan kedua akankku.
“Ini tempat apa, sih?
Aku masih tidak mengerti?”
Perempuan itu malah
diam, tersenyum. Asem! Perempuan aneh. Tiba-tiba lenganku dipegangnya semakin
erat, “Ayo sembunyi ke semak itu.” Dia menarik tanganku dan menuntunku ke balik
semak di belakang pohon beringin. “Lihat. Itu Belanda. Lihat siapa yang berada
di depannya? Ketiga pemuda dengan tangan dirantai. Moncong laras panjang
mengarah tepat di kepala mereka. Mereka berhari-hari tak diberi makan. Terus
dipaksa bekerja oleh Belanda. Kejam. Jika membantah, laras panjang itu akan dipukulkan
ke kepala mereka, bahkan mereka akan di-dor.”
Sepertinya aku mulai
paham. Aku terperangkap pada masa lalu. Jadi benar, ini dunia paralel. Pohon
tadi pintu menuju masa lalu. Tidak-tidak, bagaimana caranya keluar? Belanda itu
semakin dekat. Kira-kira lima meter dari persembunyian kami. Aku ketakutan. Tubuhku
gemetaran. Pikiranku sudah ke mana-mana. Sial! Semua ini gara-gara perempuan
ini.
“Kenapa kamu membawaku
ke sini, ha?” bisikku.
“Sekedar mengajakmu
jalan-jalan,” jawabnya enteng.
“Aku tak butuh.”
“Diam.”
Belanda itu menghadap
ke arah kami. Aku bungkam seketika. Ketakutan. Bulu kuduku sudah berdiri tegang.
Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhku. Laju jantungku sudah tak
beraturan lagi. Ah. Aku bakal mati sekarang.
“Siapa di sana?”
Kami tak menjawab. Ketakutan.
“Siapa di sana? Keluar,
atau aku tembak kalian.” Belanda itu terus menggertak.
Aku gemetaran. Sumpah
aku tak pernah bermimpi terjatuh pada medan perang sebelum Indonesia merdeka.
Aku tak pernah mersakan desakan dan nyawa yang berada di ujung senapan. Ah.
Sial! Semua ini gara-gara perempuan itu. Teganya dia membawaku pada masalah
pelik ini. Siapa yang akan menolongku? Aku mengutukinya dalam hati. Andai bisa
berkata keras, aku sudah akan memakinya habis-habisan. Ini gara-gara
ketololanku—mengikutinya tadi. Bangsat!
“Ayo keluar, atau akan
aku ...”
“Stop,” perempuan itu
tiba-tiba berdiri, menyerahkan diri, “aku yang berada di sini.”
Aku kaget bukan main. Apa
yang perempuan ini lakukan. Bisa mati dia. Goblok. Sungguh keberaniannya
kuacungi jempol. Tapi goblok. Dia rela menyerahkan diri demi aku, pria yang
bahkan baru dikenalnya. Aku tersindir.
“Ohoho. Pribumi yang
kabur ternyata. Si cantik Ratih, apa kabarmu? Jadi di sini kau bersembunyi?”
Dia bergeming. Bahkan
tatapannya menantang. Tanpa ada sedikitpun rasa takut di guratan wajahnya.
DOR!
Tembakan melesat
dari laras panjang, tepat mengenai jantung
Ratih. Darah muncrat, beberapa titik mengenai wajahku. Aku terkaget, dan
berteriak kencang. Ratih tumbang ke depan. Aku semakin ketakutan. Antara takut
darah dan Belanda yang berjalan mendekat ke arah semak.
Saking takutnya, aku
pingsan seketika.
***
Aku membuka mata.
Terlihat langit yang tertutup rindangnya pohon beringin. Terdengar suara
teriakan histeris. Orang-orang berlarian menjauh dari tempatku terbaring. Aku
langsung berdiri. Orang-orang semakin menjerit, lari terbirit-birit.
Aku melihat sekeliling.
Mana perempuan tadi. Aku terkaget, saat mataku menangkap Supraku remuk. Masih
ada polisi yang terlihat gemetar ketakutan. Celana bagian selangkangannya
basah. Ada bau pesing saat angin berhembus ke arahku. Kurasa dia kencing di
celana.
Kudekati dia, “Ada apa
ini, Pak? Kenapa saya bisa berada di sini?”
“K-k-kamu b-b-bukannya
m-mati n-nabrak p-pohon?”
Polisi tersebut malah
pingsan di tempat.
Aku bingung, yang
kuingat hanya kejadian aku dan perempuan asing masuk ke masa lalu, dan
sebelumnya aku menghabiskan dua cangkir kopi di warung seberang. Mendengar
percakapan Ali dan Mabrur soal istri mereka yang pelit. Sedangkan aku masih
sibuk dengan kantukku. Kopi tersebut tak mujarab menghilangkan kantukku. Dalam
keadaan seperti itu aku memutuskan pulang naik motor. Selain itu aku tak ingat
lagi apa yang terjadi.
*)Dimuat di Koran Muria pada 15 Februari 2015
0 komentar