![]() |
Penampakan Cerpen Tali di Majalah Cerpen hlm 76 |
Cerepen ini sebenarnya sudah kutulis dan kirim cukup lama, tapi baru dimuat di Majalah Cerpen (Cerpen Magz) yang dulu bernama Joe Fiksi, sempat tak terbit dan akhirnya terbit lagi di awal 2014, dengan mengganti nama Cerpen Magz. Di edisi Januari, cerpen saya berjudul Tali akhirnya dimuat juga.
Cerpen Tali, saya tulis dulu waktu saya masih unyu di dunia tulis-menulis. Tak tahu teknik dan tetek bengeknya. Asal tulis saja. Dan akhirnya mendapatkan jodohnya. Benar kata orang, semua karya pasti akan menemukan jodohnya, entah itu besok atau nanti. Tinggal menunggu waktu.
***
![]() |
Cover Majalah Cerpen (Cerpen Magz) |
Tali
Oleh:
Reyhan M Abdurrohman
Tali ini
menjeratku. Apalagi semenjak
aku menginjak sekolah menengah. Semakin erat
saja mengikatku. Hingga aku tak bisa bergerak leluasa.
Pulang sekolah, aku harus langsung pulang. Tak bisa ke mana-mana.
Itu sudah peraturan tak tertulis yang tegas, dan aku tak sanggup melanggarnya.
Pulang sekolah hanya di rumah, tak diperbolehkan ke luar menghirup udara kebebasan.
Entah atas dasar
apa orangtuaku membuat peraturan seperti itu. Ini terlalu mengekang, menurutku.
Tapi menurut mereka, ini peraturan yang
harus dibuat, demi kebaikanku. Apakah demikian, jika
ini membuatku tak baik. Fikiranku mati, dan aku ingin mati saja, bersama rasa penasaran
atas dunia luar.
Buat apa aku
hidup, jika harus terikat dengan tali peraturan yang menjerat. Memang aku seorang gadis remaja, tapi aku yakin aku
dapat menjaga diriku sendiri, sehingga peraturan itu tak usah dibuat saja. Tapi
apa daya, mereka menganggapku
lemah, anak kecil yang masih
butuh pengawasan.
Aku sudah
remaja. Aku sudah masuk sekolah menengah atas. Seragam putih biru kutanggalkan.
Kuganti dengan putih abu-abu. Sudah saatnya aku bebas.
Mengepakkan sayap, terbang lebih tinggi. Berkreasi membebaskan imajinasi.
Bersosialisasi dengan dunia luar. Menatap jauh, jauh ke atas, ke langit, hingga menembus lapis tujuh, dan masuk ruang hampa di dimensi
lain. Aku ingin itu semua.
Aku benci dengan
keadaanku. Terkekang. Aku ingin seperti mereka, teman-temanku. Bebas. Ke
sana-ke mari tak ada tali yang menjeratnya. Aku ingin bersama mereka, menulis
cerita baru dengan semua kegembiraan.
Aku ingin menulis cerita baru
bersama lawan jenis yang kusukai.
Tapi, itu tak akan bisa, itu tak selebihnya khayalan belaka.
Aku ingin punya
cerita yang berbeda, yang kelak dapat aku jadikan cerita pengalamanku yang menarik
untuk anak-anakku. Bukan hanya cerita pilu di balik tembok tebal, tinggi, dan
terikat tali imaji dalam kekangan.
Pernah aku
mencuri kesempatan. Aku pergi bersama teman-temanku ke taman setelah pulang
sekolah. Baru saja aku menghirup udara segar bersama mereka, canda-tawa baru menghiasinya,
HP-ku berdering. Ternyata mama yang menelpon.
“Dis, kamu ke
mana? Jam segini belum sampai rumah. Cepat pulang! Atau sekalin tidak
pulang saja. Mama khawatir, cepat pulang!! Segera!”
Tut..
tut... tut...
Belum aku
menjawabnya, telepon sudah terputus. Ah, mama mengapa kau seperti itu, tak
memberikan kesempatan anakmu ini untuk berbicara, menceritakan hal baru yang
baru saja kudapat. Aku segera pulang, karena tak mau mama semakin marah dan
mengamuk lebih liar. Membayangkanya aku sudah bergindik ngeri.
Benar, sampai
rumah, mama memarahiku habis-habisan.
Aku diancam tak diberi makan malam, uang jajan juga dipangkas seperempat. Dan
aku dikunci dalam kamar.
Dan tali itu semakin dikencangkan. Berharap aku tak akan kabur lagi. Apa sih yang ada di pikiran mama? Ini sudah diluar akal.
Aku tak menyangka mama setega itu padaku. Bah.
Sebetulnya
ini tidak yang pertama. Sudah beberapa kali aku berontak seperti itu, tapi endingnya
sama saja, menangis dalam kurungan dengan tali yang semakin mengikat lebih
kencang. Dan malam ini yang terparah. Aku kelaparan.
Aku sudah remaja dan akan menjadi dewasa. Sudah
saatnya aku bebas, mengekspresikan
energi yang berlebihan dalam diriku. Aku tak kapok dengan
peberontakanku yang kesekian kalinya,
yang endingnya selalu dapat kutebak.
***
Kuawali semua
penderitaan ini semenjak keluargaku pindah ke ibukota. Padahal sebelumnya di desa tak ada peraturan hingga
seperti ini. ah aku tak paham apa yang ada di pikiran kedua orangtuaku. Aku tak
bahagia.
Akhirnya, aku terpaksa
di sini. Dalam kurungan, dan
diikat dengan tali.
Aku hanya dapat mendengarkan cerita sahabatku, Reni, yang bisa bebas. Terbang bersama
angin di luar. Ceritanya yang selalu kutunggu setiap
hari di sekolah. Dan saat itu juga,
kubayangkan dunia luar itu,
atau jika Reni adalah aku. Pasti aku akan bahagia.
Saat
dia bercerita pasti bayangan tentang dunia luar yang indah akan menghampiriku.
Aku akan senyum-senyum sendiri, dan larut kedalam imajinasiku.
Reni
sering bercerita tentang
kedekatanya dengan Doni, cowok populer
dari sekolah sebelah. Bagaimana dia mulai dekat dengannya, bagaimana acara
jalan-jalan bersamanya, hingga bagaimana akhirnya Doni menyatakan cinta
padanya. Semua diceritakan dengan semangat. Dan aku, hanya dapat iri
memabayangkan kegembiraan Reni karena bisa
bebas.
Setiap hari, pasti kutunggu cerita-cerita
baru dari Reni, tetang petualangannya di luar sana. Hanya dia yang mau cerita,
yang lain? Hanya bisa
mengejekku saja. Katanya “Anak Mami”-lah,
“Putri Raja”-lah, sampai gank Modis
memasukkanku pada daftar anak Cupu. Arrrggh.
***
Ada yang
berbeda. Hari ini Reni tampak murung.
Wajahnya pucat, matanya sembab. Tak seperti biasanya.
Bicara saja tak mau, apalagi cerita tentang hari kemarin yang ia lalui bersama
Doni. Aku penasaran dengan ceritanya. Aku ingin kembali larut dalam imajinasiku tentang
cerita mengasyikkan Reni,
yang tak mungkin kujalani, karena tali itu.
Sudah tiga hari
ini Reni seperti itu. Tertunduk tak semangat. Wajahya kian pucat. tak sedikitpun ada rona bahagia, seulas senyum pun tak
bisa. Aku
penasaran, sepertinya
ada masalah besar yang sedang
dipikulnya, melebihi masalah kebebasan yang sering
aku keluhnya. Aku
ingin dia kembali tersenyum
dan dapat kembali cerita tentang dunia bebas yang selalu digambarkannya dengan
indah.
Kuhampiri dia
saat sedang di kelas sendirian. Kuangkat wajahnya, kutatap matanya, “Ada apa
Ren? Tiga hari ini kau tak setor cerita padaku, kau tampak murung seperti itu.”
Reni
diam.
“Ceritalah,
seperti biasanya kaumenceritakan kisah bahagiamu.”
Reni
menggeleng, “Ini bukan kisah bahagia seperti biasanya, ini kisah pahit yang tak pantas
kuceritakan pada siapapun.”
“Termasuk
padaku? Sahabatmu sendiri? Ayolah, sedih atau bahagia, aku akan tetap setia
mendengarkannya.”
“Ma’af,
tidak bisa.”
“Ayolah
Ren, apa pun itu, akan kudengarkan dan tak akan kubocorkan.”
Reni
diam.
Aku
menatap matanya, lekat. “Ayolah, percaya padaku.”
Reni
menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah, hanya kau
yang tahu. Kuharap kaudapat menyimpan cerita pilu ini.”
Aku mengangguk.
“Kemarin aku
pergi bersama Doni. Aku senang sekali, dia membelikanku boneka beruang besar.
Terus dia mengajakku ke rumahnya. Rumahnya besar, seperti istana. Dan aku
diperlakukannya bagai seorang putri. Kau tahu? Rumah sebesar itu
hanya dia yang meempati, orangtuanya di luar negeri, pembantunya hanya datang
setiap pagi, dan pulang sorenya.”
“Pasti bahagia
kamu, punya pacar seperti itu.”
“Tunggu dulu. Awalnya, aku kasihan dengan dia,
orangtuanya tak memberinya kasih
sayang, sama sepertiku. Tapi, aku sekarang benci
dengannya, sangat benci, melebihi benciku pada orangtuaku yang tak pernah ada
waku untuku. Harusnya kita serasi, tapi setelah yang dia lakukan malam itu, dia
….” Reni sesengukkan dan meneteskan air
mata, tak sanggup melanjutkan ceritanya.
“Dia kenapa? Apa
yang dia perbuat.”
“Dia memaksaku
dan mengotoriku. Dan
raiblah keperawananku.
Sungguh aku sangat sedih, bingung, dan
hancur. Bagaimana masa depanku, bagaimana jika aku hamil? Sungguh tak kusangka
dia yang kupikir baik, dapat berbuat seperti
itu.”
Deg, aku kaget
bukan main. Apa lagi ini? Cerita pilu yang menimpa Reni. Sungguh sangat berat
pasti. Aku mendekapnya, mengusap air matanya, meski aku sendiri eneteskan air mata.
“Yang tegar, aku
bersamamu, akan kusimpan cerita ini
rapat-rapat. ‘Kan kutemani kau melewati masa
pilumu. Aku sahabatmu.”
Suasana hatiku
berubah seketika. Campur-aduk
tak karuan. Sangat sedih, mendengar cerita itu. Aku tak percaya Doni bisa
berbuat seperti itu. Bah,
membingungkan.
***
Dalam kamar aku
merenung. Apakah ini alasanya orangtuaku mengikatku? Mencegahku untuk jatuh
cinta. Mencegahku untuk pergi ke dunia luar. Tidak-tidak, seharusnya mereka
membiarkanku bebas, karena aku yakin,
bisa menjaga diriku, dan aku
butuh kebebasan itu. Sangat butuh.
Lagipula apa yang mereka lakukan padakau terlalu mengekang. Sudah di atas
kewajaran.
Terbayang cerita
Reni. Bagaimana jika aku berada pada posisi Reni? Sakit, hancur dan tak tau
lagi apa yang ingin kuperbuat. Rasanya pasti ingin mengakhiri hidup saat itu
juga. Dan aku tak ingin lagi berada di posisi Reni.
***
Sudah sebulan
ini Reni murung. Dan
hari ini Reni pucat sekali. Matanya meredup,
kemerahan bibirnya memudar. Dia pingsan. Aku
membawanya ke UKS. Kujaga dia, berharap akulah orang pertama yang Reni lihat,
sahabat terbaiknya.
Reni sadar. Reni langsung memelukku. Matanya memerah, dan tak dapat membendung
air mata yang terus keluar. Pipinya basah, aku langsung menyekanya dan mengusap
pipiya. Tapi aku tak sanggup menahan air mataku untuk tumpah.
Aku meneteskan air mata juga.
“Kenapa kamu?
Ayo cerita, ringankan bebanmu, bagilah denganku.”
Dia tetap saja
menangis. Semakin erat pelukannya. Dia membisikkan sesuatu ditengah-tengah
tangisannya, “Aku positif hamil Dis, dan Doni tak mau tanggung jawab, hancur
sudah hidupku. Aku ingin mati saja.”
Deg, lagi-lagi
aku dikejutkan dengan cerita pilunya.
“Yang tabah,
sekarang kau harus
sehat! Kuantarkan kamu pulang, sebelum bel pulang sekolah, agar aku tak telat
sampai di rumah, tahu kan mamaku seperti apa?”
Reni menangguk.
Aku
mengantarkannya pulang. Reni
membawa kunci sendiri, sehingga kita
dapat masuk.
Sepi, tak ada satupun orang di dalam. Kutuntun dia
menuju kamarnya. Kubaringkan dia di ranjang.
“Orangtuamu ke
mana?”
“Mereka tak pernah memikirkanku. Bisnis saja dipikirannya.
Aku seperti hidup sendiri di dunia.”
Aku mengelus
rambutnya, “Akan kuambilkan minum.
Tunggu sebentar.” Aku ke luar kamar, menutup pintunya
dan menuju dapur untuk membuatkan
segelas teh manis hangat. Kuharap dia akan lebih sehat setelah meminum teh
manis hangat buatanku.
Aku biasannya
minum segelas teh manis hangat setiap kali aku merasa lesu. Seperti mendapat
energi baru, aku semangat kembali. Lumayan lama aku di dapur, karena mencari air hangat, teh serta gula yang tak
tahu tempatnya, dan akhirnya kutemukan. Cepat kuracik teh manis hangat untuk Reni.
Aku segera membawa segelas teh buatanku ke kamarnya.
Kubuka pinta kamar, tak kulihat Reni
di rajang. Deg, mataku terbelalak, jantungku serasa berhenti, keringatku
mengucur, aku mematung,
saat mataku menangkap sosok Reni tengah
menggantung tak bernyawa di dekat jendela. Lehernya terikat
tali tambang yang biasa dibawa anak
pramuka,
rangkap tiga dan menggantung
di langit-langit. Aku tak berdaya.[]
![]() |
Biodata Reyhan M Abdurrohman |
2 komentar