ETIKA
PROFESI WARTAWAN
A.
Pengertian
Wartawan dan Profesi Wartawan
Wartawan mennurut KBBI adalah orang yang
pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar,
majalah, radio, dan televisi.
Menurutr Dr. Lakshamana Rao, seorang sarjana dari
India mengemukakan, sebuah pekerjaan bisa dikatakan prosefi kalau memenuhi
empat kriteria, yaitu:
1.
Harus terdapat kebebasan dalam
pekerjaan tadi.
2.
Harus ada panggilan dan
keterikatandengan pekerjaan itu.
3.
Harus ada keahlian (expertise).
4.
Harus ada tanggung jawab yang terikat
pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Apakah wartawan bisa disebut profesi? Apakah sudah
memenuhi keempat kriteria di atas? Berikut di bawah adalah penjelasan untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
1.
Wartawan memiliki kebebasan yang disebut
kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1
dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara
maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun
demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5
ayat 1).
Memang,
sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana dipelopori para
penggagas Libertarian Press pada akhirnya lebih banyak dinikmati oleh
pemilik modal atau owner media massa. Akibatnya, para jurnalis dan
penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik atau setidaknya pada visi,
misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di Bandung bahkan sering “mengebiri”
kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black
list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
2.
Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari
karena peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi
kapan saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan
meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan sebagai
wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan bahaya.
Mereka ingin—dan harus begitu—menjadi orang pertama dalam mendapatkan berita
dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
3.
Wartawan memiliki keahlian tertentu,
yakni keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam
berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4.
Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik
Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam penjelasan
disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode Etik yang
disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Makadari itu pekerjaan wartawan sudah memenuhi keempat
kriteria di atas, dengan kata lain wartawan adalah sebuah profesi. Makadari itu
bisa juga disebut sebagai seorang profesional, seperti halnya dokter, akuntan,
pengacara, dan lain-lain.
B.
Pengertia
Kode Etik
Di kriteria ke empat di atas disebutkan bahwa sebagai
sebuah profesi harus mempunyai kode etik, yang mengatur kinerja wartawan di
dunia jurnalistik. Sebagai halnya profesi dokter yang mempunyai kode etik juga,
dan berbeda dengan profesi lain.
Etik menurut KBBI adalah kumpulan asas atau nilai
yang berkenaan dengan akhlak.
Etika berasal dari bahasa Latin, ethica, yang
berarti aturan atau kaidah-kaidah moral, tata susila yang mengikat suatu
masyarakat atau kelompok masyarakat, atau profesi. Etika didasari oleh
kejujuran dan integritas perorangan.
Di Indonesia, Kode Etik Wartawan tidak hanya
merupakan ikatan kewajiban moral bagi anggotanya, melainkan sudah menjadi
bagian dari hukum positif, karena Pasal 7 (2) UU Pers dengan tegas mengatakan
bahwa wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Kode Etik
Jurnalistik dimaksud yaitu kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan
ditetapkan oleh Dewan Pers.
C.
Dewan
Pers
Dewan Pers adalah lembaga independen yang dibentuk
oleh masyarakat dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kehidupan pers nasional. Lembaga ini diakui oleh pemerintah dan mendapatkan
biaya dari pemerintah dalam menjalankan fungsinya.
Fungsi yang diemban oleh Dewan Pers yaitu melakukan
pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers; menetapkan dan mengawasi
pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik; memberikan pertimbangan dan mengupayakan
penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan
pemberitaan pers; mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan
pemerintah; memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun
peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi
kewartawanan; serta mendata perusahaan pers.
Anggota Dewan Pers terdiri atas wartawan yang
dipilih oleh organisasi wartawan; pimpinan perusahaan pers yang dipilih oleh
organisasi perusahaan pers; tokoh masyarakat; ahli di bidang pers dan atau
komunikasi, dan bidang lainnya yang dipilih oleh organisasi wartawan dan
organisasi perusahaan pers.
D.
Kode
Etik Jurnalistik / Wartawan
Kode Etik Jurnalistik yang telah ditetapkan oleh
Dewan Pers terdiri atas 11 pasal dan diawali dengan pembukaan, yang antara lain
menyatakan bahwa kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak
asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak
publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan
landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga
kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar
itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pertama kali
mengeluarkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). KEJ itu antara lain menetapkan :
1.
Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2.
Meneliti kebenaran suatu berita atau
keterangan sebelum menyiarkan (check and
recheck).
3.
Sebisanya membedakan antara kejadian (fact) dan pendapat (opinion).
4.
Menghargai dan melindungi kedudukan
sumber berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan
tidak boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang
memberikannya memintanya untuk merahasiakannya.
5.
Tidak memberitakan keterangan yang
diberikan secara off the record (for your eyes only).
6.
Dengan jujur menyebut sumbernya dalam
mengutip berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk
kesetiakawanan profesi.
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan
berakhirnya rezim Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni
hanya PWI, menjadi banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang
menjadi anggota PWI. Namun demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI
pun memandang penting adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak
24 dari 26 organisasi wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode
Etik Wartawan Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI.
KEWI berintikan tujuh hal sebagai berikut:
1.
Wartawan Indonesia menghormati hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.
2.
Wartawan Indonesia menempuh tatacara
yang etis untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas
kepada sumber informasi.
3.
Wartawan Indonesia menghormati asas
praduga tak bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan
selalu meneliti kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4.
Wartawan Indonesia tidak menyiarkan
informasi yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan
identitas korban kejahatan susila.
5.
Wartawan Indonesia tidak menerima suap
dan tidak menyalahgunakan profesi.
6.
Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the
record sesuai kesepakatan.
7.
Wartawan Indonesia segera mencabut dan
meralat kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang
berlaku bagi seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers
sebagaimana diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers
No. 1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Surat Keputusan Dewan Pers No.03/SK-DP/III/2006,
tanggal 24 Maret 2006 tentang Kode Etik Jurnalistik :
Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan
berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang
profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi,
memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang
menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong,
fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan
identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang
menjadi pelaku kejahatan.
Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan
tidak menerima suap.
Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk
melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun
keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan
"off the record" sesuai dengan kesepakatan.
Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan
berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar
perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak
merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber
tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.
Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan
memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf
kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.
Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak
koreksi secara proporsional.
E.
Kekuatan
Kode Etik
Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggung
jawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan
Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang
memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan
terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers. Karenanya
saksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak organisatoris
dari PWI melalui organ-organnya.
Menyimak dari kandungan kode etik jurnalistik di
atas tampak bahwa nilai-nilai moral, etika maupun kesusilaan mendapat tempat
yang sangat urgen, namun walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan
yang bebicara di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan.
Namun terlepas dari apakah kenyataan-kenyataan yang
ada tersebut melanggar kode etik yang ada atau norma/aturan hukum atau bahkan
melanggar kedua-duanya, semua ini tetap terpulang pada pribadi insan pers
bersangkutan, dan juga kepada masyarakat, sebab masyarakat sendirilah yang dapat
menilai penerbitan/media yang hanya mencari popularitas dan penerbitan/media
yang memang ditujukan untuk melayani masyarakat, dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa dengan tetap menjunjung tinggi kode etiknya.
F.
Etika
Jurnalistik
Jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam
mengelola dan menyajikan informasi pada masyarakat,yang bertujuan untuk
menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti informasi yang disebarluaskan
merupakan informasi yang diperlukan. Jurnalistik berasal dari bahasa asing yaitu
diurnal dan dalam bahasa inggris journal yang berarti catatan harian.
Etika jurnalistik adalah Standart aturan perilaku
dan moral yang mengikat para jurnalistik dalam melaksanakan pekerjaanya. Etika
jurnalistik ini sangat penting dimana bukan hanya mencerminkan standart
jkualitas jurnalistik namun untuk menghindari dan melindungi masyarakat dari
kemungkinan dmpak yang merugikan dari tindakan atu perilaku keliru dari seorang
jurnalis.
G.
Tantangan
Jurnalistik
Seorang Jurnalis atau Wartawan harus memiliki berbagai
kemampuan dan keterampilan agar bisa bersaing dan tetap menjalankan profesinya
sesuai dengan Kode etik Jurnalistik. Jika seorang wartawan tidak punya
keinginan untuk mengembangkan diri, dia akan tersingkir dari kelompoknya.
Salah satu tantangan yang harus siap dihadapi yakni
kesadaran hukum dan keberanian masyarakat sudah muncul. Mereka meminta hak
jawab, berbagai pihak yang dirugikan bisa melakukan somasi dan tuntutan hukum.
Jika seorang jurnalis menjalankan profesinya sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik,
dia akan lebih dihargai oleh masyarakat, nara sumber dan rekan se-profesinya.
Hal yang bisa dilakukan untuk menghadapi Tantangan,
diantaranya :
·
Menjalankan pekerjaan sesuai dengan Kode
Etik Jurnalistik.
·
Banyak Membaca (buku, koran, kamus
populer, internet, UU, Peraturan, Perda dll.)
·
Mengikuti berbagai Pelatihan dan Kursus
Keterampilan (jurnalistik, bahasa asing, audit, pajak, dll.)
·
Menguasai materi sebelum melakukan
wawancara.
·
Mempunyai data pendukung untuk materi
tulisan.
1.
Jurnalis
Yang Memihak
Profesi jurnalis rentan sekali untuk memihak kepada
satu pihak, sehingga dia tidak independen lagi dalam mencari berita. Informasi
yang disampaukan karena pesanan pihak tertentu. Contoh Keberpihakan, ketika
satu daerah melakukan pemilihan kepala daerah langsung. Jurnalis menulis berita
tersebut sesuai dengan pesanan tim suksesnya, tanpa memperhatikan keinginan
para pembaca.
2.
Jurnalis
Masyarakat (Civil Journalist)
Sejak dibukanya kebebasan Pers tahun 1998 lalu,
banyak sekali berbagai perusahaan media yang muncul dan tenggelam. Tetapi para
wartawan maupun perusahaan media tidak menyadari bahwa jurnalis masyarakat
sudah muncul di dunia maya seperti blog. Para blogger muncul Tanpa perlu latar
belakang pendidikan jurnalistik. Mereka membuat berita sendiri (meskipun tidak
mengikuti kaidah penulisan). Mereka menuangkan ide, tulisan bahkan makian
terhadap pihak tertentu tanpa sensor.
3.
Media
Gratis
Satu lagi tantangan bagi perusahaan para jurnalis
dan perusahaan pers yakni maraknya media (koran dan majalah gratis). Media
gratis bisa mengurangi pendapatan kue iklan, karena tarif iklan lebih murah
dibanding tarif iklan di surat koran maupun majalah. Para penulis di media
gratis juga jarang yang berlatar belakang seorang jurnalis. Mereka hanya
mengandalkan materi tulisan dari perusahaan yang memasang iklan, seperti iklan
berita (advetorial).
H.
Sangsi
Terhadap Pelanggaran Kode Etik
Adanya kode etik bukan hanya peraturan semata, namun
harus dipatuhi. Adapun contoh dari bentuk sangsi dari pelanggaran kode etik
wartawan adalah sebagai berikut:
1.
Wartawan atau perusahaan pers yang
menyebarkan berita bohong dikenai pidana maksimal 500 juta rupiah.
2.
Perusahaan pers yang tidak berbentuk
badan hokum dikenai pidana maksimal 100 juta rupiah.
3.
Wartawan yang menerima suap dikenai
sanksi penjara.
4.
Wartawan yang melakukan penghinaan nama
baik atau fitnah dapat dijerat dengan pasal 310 KUHP dengan hukuman 9 bulan
sampai 16 bulan penjara.
5.
Wartawan yang melakukan plagiat
diberhentikan sebagai wartawan.
I.
Pertanggungjawaban
Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa
tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu
berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.
Kaitannya dengan hal di atas, dalam kenyataan yang
ada masih terdapat banyak media cetak yang memuat berita atau gambar yang
secara jelas bertentangan dengan kehidupan sosial yang religius. Namun walau
demikian tampaknya gejala ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu
kewajaran dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, sehingga batasan-batasan
etika dan norma yang harusnya dikedepankan, menjadi kabur bahkan tidak lagi
menjadi suatu pelanggaran kode etik, maupun norma/aturan hukum yang ada.
Sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 40/1999
disebutkan bahwa "Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan
opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta
asas praduga tak bersalah". Serta ditambahkan lagi dalam Pasal 13 yang
memuat larangan tentang iklan, yaitu iklan yang memuat unsur : Mengganggu kerukunan
hidup antar umat beragama, minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat
adiktif lainnya dan penggunaan wujud rokok atau penggunaan rokok.
Pertanggungjawaban dalam hal ini dapat pula terkait
dengan keberpihakan seorang wartawan terhadap seseorang atau suatu golongan
tertentu. Namun lagi-lagi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa keberpihakan
tersebut tampaknya telah menjadi trend dan seolah tidak dipermasalahkan lagi.
*referensi dari berbagai sumber
1 komentar