AVALOZA
Oleh: Reyhan M Abdurrohman & Fina Lanahdiana
www[dot]perjalananava[dot]com
27 Agustus 2013
Lagi-lagi ada dia. Cewek berambut panjang yang selalu mengenakan sweeter
merah muda. Duduk memandang ke arah barat, menunggu matahari sempurna lenyap. Sudah
tiga hari ini, cewek itu ada di pantai. Bukan untuk berenang, dia malah
mengetik sesuatu di netbook
silvernya. Aneh.
Pantai Bandengan. Angin yang mendesau, menerpa kaos v-neck-ku yang longgar. Rambutku yang sedikit panjang bergelombang,
ikut menari seirama dengan angin. Kakiku seakan tak mau beranjak dari lembutnya
pasir putih itu.
Aku berhasil mendapatkan gambar cewek itu, meski terlihat dari samping.
Hanya satu jepretan, dan itu sempurna.
“Hey, tidak sopan mengambil gambar
orang sembarangan!”
Cewek itu berdiri, meletakkan netbook-nya,
berkacak pinggang dan melotot ke arahku.
Sial, tadi aku lupa mematikan blitz
dari kamera DSLR ini. Aku segera berbalik, pura-pura mengambil gambar ke segala
arah.
“Nggak usah pura-pura deh. Nggak sopan, ngambil gambar orang tanpa izin
gitu.”
Aku masih pura-pura mengambil gambar apa pun. Melangkah pelan, menjauh dari
cewek itu. Namun, sepertinya cewek itu geram dengan tingkahku. Dia malah berjalan
mendekatiku.
“Hey. Aku bicara padamu!”
Aku menelan ludah. Cewek ini tak main-main. Matanya bulat sempurna. Meski suaranya
terlalu kecil untuk bisa dianggap sedang marah.
“Apa sih. Aku cuman ngambil gambar matahari yang tenggelam. Nih lihat,
nggak ada gambarmu.” Aku memperlihatkan gambar matahari yang berhasil kujepret
setelah mengambil gambar cewek itu tadi.
“Oh, kirain.” Muka cewek itu memerah.
“Makanya jangan langsung marah-marah gitu dong. Lagipula ini kan tempat
umum. Nggak ada larangan untuk ngambil gambar.” Aku balik melotot.
Aku langsung meninggalkan cewek itu, setelah memarahinya balik. Baru kali
ini, aku dimarahi orang yang kupotret. Biasanya mereka narsis di depan kamera,
setelah itu nyodorin email, untuk minta kiriman hasil gambarnya.
Sebetulnya aku bukanlah fotografer. Aku hanya bocah penikmat seni yang suka
berpetualang, mengumpulkan aneka macam keganjilan dan kemegahan yang dimiliki
alam. Bagi saya hidup ini indah. That
because i think that life is art.
Diary Kanza
Diary. Masih seperti kemarin. Aku belum menangkap sosok yang kutunggu. Setelah
kurang lebih setahun aku terpaksa menggantungkan rindu. Mempertahankan rasa
percaya ini. Tapi kamu belum juga datang memenuhi janjimu.
Lagi-lagi aku teringat, bagaimana kita pernah ada di sini. Kita yang pernah
saling kejar melarung ombak, kita yang pernah saling menjaga mesti jarak jauh
membentang, kita yang saling menggenggam tangan untuk tetap saling percaya.
Sudah seminggu aku menunggu di tempat yang sama. Di bawah pohon pandan
berduri, di sebuah pantai pasir putih dengan gulungan ombak yang tenang. Aku
datang bukan untuk bermain dengan ombak atau pasir pantai yang indah. Aku hanya
menunggumu, dikala senja.
Aku ingat perkataanmu satu tahun yang lalu, sebelum akhirnya kamu
memutuskan untuk pergi merantau ke pulau seberang.
“Tunggu aku, di akhir agustus, di patai ini, di saat matahari akan hilang.“
Aku tersenyum. Meski hatiku harus merintih, karena terpaksa ditinggalkan
demi pekerjaanmu di tambang batubara. Aku ingat betul bagaimana kebahagiaanmu
saat menemuiku, mengabarkan bahwa kamu diterima perusahaan tersebut saat tes di
SMK-mu.
“Aku diterima. Ini yang kuimpikan sejak dulu. Kerja dengan gaji yang
fantastis.” Kamu memelukku, erat.
Aku bahagia. Meski ada desir kesedihan yang kurasa. Kamu harus pergi dariku.
Tepisah laut jawa yang begitu luas.
Ah, aku selalu sedih jika ingat akan perpisahan itu.
Well you done done me
and you bet I felt it
I tried to be chill but
you're so hot that I melted
I felt right trough the
cracks,now I'm trying to get back ...
Alunan musik I'm yours mengalun
di telinga. Jemariku masih belum menari di atas keyboard. Aku memang belum menemukan apa-apa. Novel ini hanya butuh
ending. Dan aku masih menunggunya, di sini.
Ckrekk.
Seperti ada kilat sekejap. Aku menoleh ke samping. Ternyata ada moncong
kamera yang dipegang seorang cowok mengarah padaku.
Aku memaki cowok itu. Tapi dia berhasil berkelit. Dia balas
mempermalukanku.
27 Agustus 2013
Kanza
www[dot]perjalananava[dot]com
28 Agustus 2013
Cewek itu tak ada lagi di tempat itu. Ah, kenapa aku malah mempedulikannya?
Aku merasakan kekosongan, seperti ada sesuatu yang hilang.
Aku hanya mengalungkan tali kameraku. Berjalan-jalan di bibir pantai.
Kubiarkan saja kakiku yang telanjang diciumi ombak.
Lelah bermain air, aku duduk di bawah pohon pandan berduri, tempat di mana cewek
itu biasa duduk. Tiba-tiba aku mengingat Keyla. Dia kekasihku. Oh, bukan. Dia
mantan kekasihku.
Dia memutuskanku saat dia kepergok selingkuh dengan Ryan, sahabatku.
“Kita putus.”
Mengagetkan. Kata singkat itu, selalu terngiang di kepalaku.
Aku menyesal sudah memerahinya. Memukul Ryan di depannya. Aku kesal, tak
bisa menahan emosi. Lubang hidung Ryan mengeluarkan darah. Tanpa pikir panjang
Keyla meninggalkanku. Benar-benar meninggalkanku.
Aku bodoh. Seharusnya aku tak marah. Tapi aku akan lebih bodoh jika tak
marah. Bahkan aku sudah sangat bodoh karena dia yang malah berhasil mematahkan
hatiku. Harusnya dia yang hancur karena rasa bersalah dan memohon maaf padaku. Sekarang
aku tahu satu hal. Ryan bukan sahabat terbaikku. Memang dia selalu bersamaku.
Ryan tahu banyak hal soal aku. Ryan seperti saudaraku. Tapi dia tak lebihnya
serigala berbulu domba yang menusukku dari belakang. Itu bukan sahabat.
“Arrgh...!”
Aku berteriak sangat kencang. Memuntahkan semua emosi yang membuncah.
Seolah mengadu pada matahari yang diam, dan berangsur hilang ditelan laut.
“Hey, apa yang kaulakukan? Mengganggu ketenangan saja.”
Aku menoleh ke arah suara kecil, yang sudah tak asing tersebut.
“Kamu ...” Aku terkaget.
“Iya aku. Ngapain teriak-teriak? Ngapain juga kamu di tempat ini?”
“Ye... ini kan tempat umum. Suka-suka aku dong.”
“Iya, emang. Tapi harus toleransi dong. Jangan teriak-teriak gitu.”
“Masalah banget buat kamu, ya?”
“Banget,” jawab cewek itu super singkat.
Aneh. Cewek itu langsung pergi lagi. Seperti hantu yang datang dan pergi
semau dia.
Senjaku terasa lengkap lagi.
Diary Kanza
Diary. Hari ini aku telat ke tempat ini. Di sana sudah ada cowok nyebelin itu.
Cowok nggak jelas yang ngga tahu asal-usulnya. Dia bukan cowok asal sini. Aku
sekilas, kenal warga sekitaran sini. Aku sering ikut menjaga warung milik Ibu,
di tempat parkir pantai.
Tadi aku telat datang. Cowok itu merebut tempat itu. Aku tak bisa
memaksanya pergi. Toh, pantai ini adalah tempat umum. Aku tak bisa menutup
novelku lagi. Karena matahari terburu lenyap di ujung barat sana. Dan dia masih
belum datang.
Aku tak punya cerita panjang hari ini. Maafkan aku, yang terlanjur
tenggelam dalam kesedihan karena senjaku tak hadir sampai sekarang.
28 Agustus 2013
Kanza
www[dot]perjalananava[dot]com
29 Agustus 2013
Baru dua kali aku bertemu dia, membuatku ingin mengenalnya. Cewek yang
jutek, tapi membuatku semakin penasaran. Siapa namanya, di mana rumahnya. Hmm,
setidaknya aku tak lagi sendirian menghabiskan liburan.
Kali ini aku lebih banyak duduk. Hanya menjepret beberapa gambar. Dari
kejauhan dia tampak menggerutu. Haha. Pasti karena tempatnya aku duduki lagi.
Jelas saja aku lebih dulu sampai, aku menginap di resort yang hanya berjarak beberapa meter dari pantai.
Pantas saja dia betah, ternyata tempat ini memang cukup nyaman. Tapi
tunggu, dia tak sendirian. Dia menggandeng seorang anak kecil, apakah itu
anaknya? Ah, dasar cewek aneh. Sore begini malah mengajak anak kecil. Tak takut
kesambet apa. Tau rasa deh nanti dimarahi orangutanya.
Aku berjalan seperti biasa. Kamera menjadi alasan satu-satunya untuk sementara
ini. Aku mendekatinya, maksudku mendekati anak laki-laki di sampingnya itu,
untuk menjadi objek selanjutnya. Tak terlalu dekat, posisi yang sempurna. Aku
berada di sudut kanan depan mereka. Di bawah sebuah pohon, cewek itu berdiri
agak membungkuk. Pundak kirinya menggendong tas, sementara tangan kanannya
merangkul pundak anak kecil itu.
Ckrekk.
Sengaja aku tak mematikan blitz
kamera, agar cewek itu marah-marah lagi. Kemudian aku akan memotretnya segera.
Tapi ternyata aku salah, dia hanya menunjukkan wajah kesal, lalu berpindah.
“Pindah yuk, Dek. Ada orang gila,” ucapnya sambil melirik ke arahku.
Rasanya aku ingin tertawa.
“Kok orang gila sih, Kak. Kakak itu kan cakep. Emang Kakak nggak naksir, ya?”
Anak kecil itu malah meledek dengan polosnya.
Pemandangan yang lucu. Mereka berjalan menjauh dariku yang kemudian
berhenti tepat di depan resort. Cewek
itu duduk di atas pasir. Anak kecil tadi berlarian membuat garis di pasir
putih.
“Adiknya?” Aku memberanikan diri duduk di sebelahnya.
“Kenapa, bawel. Emang masalah?” katanya jutek.
“Galak banget sih.”
“Kamu menunggu sesuatu?” tanyaku asal.
Cewek itu terkejut, lalu kembali memalingkan wajahnya, "Bukan
masalahmu, aku hanya sedang mencari ending buat novelku." Dia mulai
melunak.
“Novel? Kamu penulis?”
“Hanya suka bercerita, tepatnya.”
“Boleh tau nama kamu? Aku Ava. Di sini menghabiskan waktu liburan.”
Cewek itu mendelik tak percaya, sedikit memicingkan mata, dahinya berkerut.
Mungkin dia sedang berpikir aku benar-benar orang gila.
“Kanza. Panggil aja Kanza.”
“Anak kecil itu?”
“Ponakan.”
Percakapan singkat, namun tak terlalu buruk. Meski sempat kena omel, aku
senang melihatnya lagi, apalagi ngobrol sebentar dengannya, Kanza.
Diary Kanza
Diary. Sial. Dia sudah menempati tempat itu lagi. Kenapa meski cowok gila itu,
bukan Kalinta. Orang yang aku rindukan, yang pergi ke Kalimantan karena
tuntutan pekerjaan. Kalinta yang tak pernah sekalipun memberi kabar.
Percayalah, ini bukan zaman di mana orang masih harus ribet berkirim surat
untuk sekedar memberi kabar. Dia hanya berjanji akan datang di pantai ini,
tentu saja aku percaya. Dia bukan tipe orang yang mudah melupakan janji yang
dibuatnya, kukira.
Hari ini ketikan di netbook tak
bertambah sedikit pun karena Gio yang memaksa ikut denganku. Aku tak punya
cukup waktu untuk memainkan jari-jariku.
Tak mengerti harus senang atau apa, tiba-tiba aku memikirkan cowok aneh
yang selalu menenteng kamera itu. Aku kaget dia mulai mencari perhatian.
Awalnya dia hanya mencuri fotoku dan Gio. Aku kesal, lalu berpindah menjauh
darinya. Tapi dia malah mengikutiku. Saat aku duduk entah sejak kapan, dia
telah berada di sampingku. Ternyata dia cowok gila yang pemberani.
Namanya Ava—wisatawan yang sedang menghabiskan liburan. Mengingatnya
membuatku semakin tak sabar untuk bertemu Kalinta. Dia akan senang aku masih
mengingat pantai ini bersamanya. I'm
still waiting you my dear, Kalinta
Tadi aku mencoba mencari inspirasi dengan googling dengan keyword senja. Mataku tertuju pada website dengan alamat
www.perjalananava.com. Mataku terbelalak saat melihat isinya. Ternyata itu website milik Ava, cowok gila itu.
Mataku terbelalak untuk kedua kalinya, saat
mendapati ada siluet wajahku yang menatap senja.
Hei, aku tak percaya dia menuliskan semuanya. Kurang ajar, dia menyebutku
dengan cewek aneh. Ah, sial. Dia juga memasang fotoku yang dicurinya, apa-apaan
ini. Dasar orang gila!
29 Agustus 2013
Kanza
www[dot]perjalananava[dot]com
30 Agustus 2013
Sore itu kanza tak sendirian. Ada cowok berambut lurus, yang hanya
mengenakan singlet hitam dan celana tigaperempat. Kulitnya hitam, badannya agak
berisi. Di samping cowok itu berdiri seorang cewek berkulit putih dengan rambut
yang dikuncir kuda.
Dari jauh aku tak mendengar apa yang mereka bicarakan. Aku ingin mendekat,
tapi tak bisa. Aku melihat kepala Kanza tertunduk sejak tadi. Tak lama, cowok
dan cewek itu pergi meninggalkan Kanza yang menangis tersedu. Aku memutuskan
untuk mendekatinya.
“Jangan mendekat!” kata Kanza dengan wajah masih tertunduk.
“Apa yang terjadi?” tanyaku tak mengerti.
“Jangan mendekat aku bilang. Sana pergi dari sini. Aku ingin sendiri.”
Aku mematung. Meski rasanya berat, terpaksa aku menuruti perintah Kanza.
“Oke, aku pergi. Kamu bisa cerita kapan pun.”
“Siapa memangnya kamu itu. Kamu itu orang asing, yang selalu ingin tahu
urusan orang.” Kanza masih terisak.
Aku berbalik. Kakiku terasa berat untuk berjalan. Ada segudang tanya yang terpaksa
kupendam. Kenapa Kanza? Siapa cowok dan cewek itu? mengapa dia berubah galak
lagi? Ah. Aku malah memikirkan orang yang baru kukenal seminggu ini. Maaf sobat
blogger. Aku tak bisa mengambil
gambar.
Diary Kanza
Diary. Hatiku remuk berkeping. Aku tak yakin hatiku akan kembali utuh. Kalinta
yang kutunggu selama ini. Mengapa? Mengapa dirimu begitu tega.
Kamu memang menepati janjimu untuk menemuiku di pantai Bandengan pada senja
di minggu terahkir bulan Agustus. Tapi kamu tak menepati janjimu untuk setia.
Apa yang ada di pikiranmu hingga membawa kekasih barumu itu kepadaku? Aku ingin
sekali meninju cewek tak tahu diri itu. Tapi bukan dia yang salah. Tapi kamu Kalinta,
kamu! Mana sikap pengertianmu yang dulu? Apa gara-gara sudah kebanyakan uang, HA!
Percuma aku bicara di sini. Kau tak akan mendengarnya. Yang penting aku sudah
meluapkan semua kekesalanku, lewat kamu, diary-ku.
Mungkin novel ini tak akan pernah menemukan ending bahagia. Karena sudah
dirusak oleh tokoh utama.
30 Agustus 2013
Kanza
www[dot]perjalananava[dot]com
31 Agustus 2013
Kanza berdiri menghadap ke pantai. Kakinya menelanjangi pasir yang dihempas
gelombang ombak. Rambutnya melambai-lambai. Ia mengenakan kaos dengan luaran
kemeja kotak-kotak merah berlengan panjang, yang kancing-kancingnya dibiarkan
terbuka, dipadu jeans biru yang dilipat setinggi lutut.
Wajahnya tak tampak murung seperti kemarin. Kali ini tampak lebih segar.
Tangannya bersedekap. Santai. Membiarkan angin mengenai tubuhnya.
“Sendirian? Tidak menulis lagi?” tanyaku padanya.
“Hah!” Kanza terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba
“Gitu aja gugup.” Aku terkekeh melihat wajahnya yang berubah merah
“Ngapain ke sini? Mau menggangguku lagi?” tanya Kanza jutek.
“Menurutmu apa aku pantas disebut pengganggu?”
“Dasar orang gila!” ucapnya yang kemudian diselingi dengan tawa
“Menunggu siapa? Serius banget sepertinya,” ledekku.
“Tidak ada. Menurutmu?”
“Nggak usah pura-pura, deh. Kamu menunggu seseorang, kan?”
Aku memotret gayanya yang cuek. Menyadari hal itu dia berlari mengejarku.
Lelah yang menyenangkan. Kami berhenti dan duduk.
“Gimana, cowok dan cewek yang datang kemarin itu siapa?”
“Siapa? Oh, yang kemarin ...” suasana hening “dia Kalinta, cowok yang
hampir setahun ini aku tunggu, yang membuatku betah berlama-lama menanti senja.
“Tapi ...”
Dia memotong ucapanku, “Aku bisa menebak, pasti kamu ingin bilang kenapa
dia membuatku menangis, kan? Hmm, cewek itu adalah cewek barunya.”
“Maaf, mengingatkanmu dengan luka itu.”
“Nggak apa-apa."
Kanza Syafira. Aku mengetahui nama lengkapnya dari book note’s yang
dia tinggalkan tempo lalu. Dia lupa saat buru-buru meninggalkan pantai. Tak
banyak yang kutahu dari buku itu, tapi aku sedikit meninggalkan beberapa
coretan untuknya, semoga dia membacanya. Tadi aku sudah mengembalikanya.
Diary Kanza
Diary. Cowok itu datang dengan rasa yang berbeda. Aku merasakan kedamaian saat dia
di dekatku. Bahkan aku yang kemarin tak bisa tersenyum, kini bisa tertawa. Dia lucu. Dia pandai menghibur.
“Kenapa tidak jadi pelawak aja sih?” ledekku.
“Pengennya sih, sayang passion-ku
memaksaku jadi tukang masak.”
Aku tertawa geli. “Nggak nyambung banget, sih.”
“Kalau mau nyambungin, ya pakai tali.”
Aku tertawa lagi. Cowok itu menyenangkan. Hari ini aku berhasil membunuh
senja bersamanya. Aku sebenarnya ingin melabrak dia soal website pribadinya
itu. Aku yakin dia bukan orang yang hanya hobi fotografi seperti yang pernah
dikatakannya. Tapi itu tertahan karena malam buru-buru datang.
31 Agustus 2013
Kanza
***
1 September 2013
Kanza masih saja menanti senja, meskipun ending novel
yang dicita-citakan tak akan sama dengan awal cerita yang ditulisnya. Ava
berjalan dari resort menuju ke tempat Kanza duduk. Ia mengenakan kaos
yang dibungkus jaket jeans. Menggendong ransel yang terlihat penuh. Kameranya
tetap dikalungkan di leher. Tangannya memegang sepuluh senar, yang terhubung sepuluh
balon berwarna-warni.
“Kanza....” Kanza berbalik. Tidak ada lagi raut kesedihan di wajahnya.
“Ini untukmu.” Ava menyodorkan balon yang dia pegang. “Tulis semua keluh
dan harapanmu, lalu terbangkan ke angkasa. Biar balon ini yang membawanya pergi
jauh ke sana. Seperti film-film gitu.” Ava menyerahkan sebuah book note dan pulpen sambil tertawa.
Kanza tersenyum. Kemudian meraih balon dan book note dari tangan Ava. Kemudian menulisakan sesuatu. Ava tak
mengetahuinya. Dia membiarkan Kanza bebas menuliskan apa pun dengan rahasia.
“Sudah?”
Kanza mengangguk. Memberikan sobekan kertas yang sudah dilipat ke Ava. Ava
meraihnya.kemudian meminta balon itu lagi untuk dikaitkan menjadi satu dan
ditalikan ke kertas itu.
“Silahkan terbangkan.”
Masih tak bersuara. Kanza menerbangkan balon itu. Dengan cepat balon itu
terbang ke langit, terbawa angin.
“Va, sebenarnya kamu siapa?” tanya Kanza tiba-tiba.
“Ha? Baik, aku akan jujur. Aku sebenarnya adalah ...” Ava menggantungkan
kalimatnya. Kanza terlihat penasaran. “Batman.” Ava tertawa.
“Aku serius, Va. Aku sudah membaca semua tulisan di website-mu.”
Ava tercekat. “Kamu mengetahui website-ku.
Berarti ...”
“Iya, aku mengetahui semuanya, dan kamu bukan hanya bocah petualang penyuka
fotografi. Jujur saja, kamu penulis, kan?”
“Mana bisa aku menulis.”
“Buktinya sudah ada. Aku sudah mencari tahu tentangmu. Kamu Ava Aliandra
Wibisono, yang telah menulis puluhan novel remaja dan dewasa. Bodohnya aku tak
mengetahui itu semua sejak awal.”
“Baik, kamu sudah tahu semuanya.”
“Kenapa kamu tidak bicara sejujurnya? Kalau dari awal aku mengetahui siapa
kamu, aku bisa minta pendapat soal novelku, yang tak tahu bagaimana endingnya.”
“Maksudmu? Kamu tidak tanya sipa aku, kan?”
Kanza mengangguk, “Kalinta, dia yang seharusnya menjadi ending cerita di
novelku. Tapi dia datang dengan cewek itu, bukan denganku. Sekarang mungkin
novel ini akan berakhir sedih. Bukan mendapatkan cinta yang sesungguhnya.”
“Sebentar. Kamu bisa keluar dari zona true
story-mu. Kamu bisa membuat fiksi.”
“Tidak. Dari awal aku sudah terlanjur masuk dalam cerita itu.”
“Kalau gitu, maukah kamu menjadikan aku sebagai endingnya?” Ava menatap
Kanza, lekat.
“Maksudmu?” Kening Kanza berkerut.
Ava tersenyum. “Ya, jadikan aku endingnya. Kita bisa menulisnya bersama.”
“Tapi kamu mau pergi, kan? Endingnya akan sama. Sakit hati.”
“Kita bisa menulis bersama lewat media online,
kan? website misalnya?” Ava
tersenyum. “Apa kamu mau?”
“Sekarang aku sudah tahu bagaimana menyelesaikan novel ini. Endingnya ada
di depanku. Kamu, Ava. Kamu senja yang selama ini aku tunggu.”
Ava terkekeh. “Aku tidak menyangka, pertemuan aneh yang disaksikan matahari
senja, akan menyatukan karya kita.”
Pertemuan senja membawa mereka kepada sebuah cerita cinta, juga keinginan
untuk saling berbagi dengan berkarya dan membangun mimpi-mimpi bersama.
Menegakkan yang pernah jatuh. Memunguti yang pernah berserakan. Memperbaiki
yang pernah salah dalam hidup mereka. Ava dan Kanza merangkum diri mereka ke
dalam sebuah website www[dot]avaloza[dot]com. []
0 komentar