Judul :
Perempuan Di Titik Nol
Penulis : Nawal el-Saadawi
Pengantar : Mochtar Lubis
Penerjemah : Amir Sutaarga
Penerbit :
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
ISBN : 978-979-461-040-4
Tebal : xiv + 156 hlm, ; 11 x 17 cm
Cetakan ke-10 : Juni 2010
Cerita Kelam Perempuan Mesir
Oleh: Reyhan M Abdurrohman
Negeri-negeri
arab terkenal dengan kaum perempuan yang masih terbelakang kedudukan dan haknya
dibanding kaum laki-laki. Contohnya Mesir, yang merupakan negeri
dan masyarakat Arab dan islam yang melakukan modernisasi jauh lebih dulu
dibanding negeri-negeri Arab dan Islam lainnya di Asia Tenggara. Hadirnya buku
“Perempuan Di Titik Nol” yang ditulis Nawal el-Saadawi (yang adalah seorang
Dokter), memperlihatkan kebenaran keterbelakangan kedudukan dan hak kaum
perempuan di negeri arab.
Buku
yang sering disebut “Firdaus” yang juga merupakan nama perempuan sebagai tokoh
sentral dalam novel ini, merupakan kisah nyata yang dialami Firdaus yang
diceritakan pada Nawal el-Saadawi mendekati hukuman mati yang sudah di depan
mata. Firdaus menceritakan kisah hidupnya dalam memperjuangkan kedudukan dan haknya.
Kisahnya ini mencerminkan perjuangan perempuan Mesir dalam menyamakan
hak-haknya dan mendapat perubahan nilai dan sikap kaum lelaki Mesir terhadap
perempuan, masih belum sepenuhnya tercapai.
Cerita
yang penuh dengan kejutan yang mampu menggoncangkan perasaan, protes terhadap
ketidak adilan pada perempuan, jeritan pedih atas derita yang dirasakan
bertubi-tubi, tersaji dalam rangkaian kata yang memikat.
“Buku
yang keras dan Pedas.” Begitu pernyataan Mochtar Lubis dalam kata pengantar
yang ditulisnya sebagai pengantar dalam buku ini.
....
Betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua
lelaki. Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka,
telah mengobarkan dalam diri saya hanya satu hasrat saja: untuk mengangkat
tangan saya dan menghantamkannya ke muka mereka. Akan tetapi karena saya
seorang perempuan, saya tidak punya keberanian untuk melakukannya. Dan karena saya
seorang pelacur, saya sembunyikan rasa takut saya di bawah lapis-lapis solekan
muka saya....
Sebuah
cuplikan jeritan seorang Firdaus dalam menjalannkan pekerjaannya: pelacur.
Beraninya dalam mengolah kata dan tema sehingga banyak menimbulakan kontroversi.
Memang gaya feminislah yang dipilih penulis sebagai tulisannya, yang
pandangannya dianggap tidak menguntungkap bagi para penguasa.
Terbelakangnya
kedudukan kaum perempuan Mesir juga di jelaskan pada cuplikan berikut:
...Seorang
pelacur yang sukses lebih baik dari seorang suci yang tersesat. Semua perempuan
adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian
menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan
menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam
perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau
menghantam mereka dengan penghinaan atau dengan pukulan...
Firdaus
juga mengemukakan pandangannya terhadap seorang lelaki daris semua kalangan:
...saya
mengatakan bahwa kamu semua adalah penjahat, kamu semua: para bapak, paman,
suami, germo, pengacara, dokter, wartawan, dan semua lelaki dari semua profesi.
Dari
cuplikan di atas jelas bahwa lelaki adalah penjahat perempuan tertindas seperti
dirinya di negeri Mesir.
Firdaus
menceritakan kisah hidupnya dengan detail, berikut penderitaan dan jeritnya
dari mulai di anak-anak, remaja, menikah, hingga dia hidup bersama lelaki yang
membayarnya. Apa pun yang ditulis dalam buku ini begitu tegas dan berani.
Sangat tercermin diri Firdaus yang sebenarnya.
Firdaus
menceritakan kekesalannya, hingga dia berani membunuh germonya yang
mengakibatkan dirinya berada di titik nol: hukuman mati.
Pernah
Firdaus ditawari untuk menulis surat untuk presiden untuk membebaskannya, tapi
dengan keras Firdaus menolak.
“Tetapi
saya tidak mau dibebaskan, dan saya tidak mau minta pengampunan atas kejahatan
saya. Apa yang disebut kejahatan bukanlah kejahatan.”
Memang
dia membunuh germonya hanya untuk menegakkan haknya. Dan dia dihukum adalah,
karena jika dia masih hidup maka, lelaki diluaran sana akan terancam akan
kebenaran yang sebenarnya yang diketahui Firdaus.
Dan
di akhir katanya Nawal el-Saadawi mengaku ketegaran, kehebatan, dan keberanian
Firdaus dalam menjalani hidupnya yang tertindas penuh lika-liku.
“Dan
pada saat itu saya menyadari bahwa Firdaus memiliki banyak keberanian daripada
saya,” kata Nawal.
Sebagai
masyarakat indonesia seharusnya kita patut berbangga. Ada pahlawan perempuan
yang menjungjung harkat dan martabat perempuan, serta memperjuangkan hak-hak perempuan.
Pahlawan yang sudah tak asing lagi, RA. Kartini. Mungkin jikalau tidak ada
belliau, hak-hak perempuan tetap tertindas, seperti apa yang dialami Firdaus
dan perempuan Mesir lainnya.
Novel hebat dari curahat
terpidana mati di penjara Qanatir ini, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor
Indonesia ini memang patut diacungi jempol. Begitu juga penulisnya Nawal
el-Saadawi yang novel feminisnya banyak
kontroversi di negara asalnya sendiri.
0 komentar