Hujan Di Halte
Oleh: Reyhan M Abdurrohman
Sekarang aku
duduk di sini. Sendiri. Bersama hujan yang tak pernah mau pergi. Sejak tadi
pagi, hingga matahari berganti. Masih sendiri. Bulan pun tak menemani, apalagi
bintang yang tak juga sudi. Hanya hujan yang membasahi bumi. Memberikan irama
gemericik mengenai atap halte dan jalanan yang sunyi.
Sekarang aku
duduk di sini. Menanti Arum, gadis yang kucinta, datang kembali. Untuk membuka
janji, yang dulu pernah terucap di sini, di halte ini. Aku duduk di sini. Tak sempat untuk pergi,
karena rindu yang teramat tinggi, ingin segera terobati. Dan kedatangan Arumlah
semua akan selesai, semua penantian dan rindu, serta janji cinta yang sudah
terpatri, di hati.
***
Sudah tiga tahun
Arum pergi. Meninggalkanku sendiri, dengan cinta yang terpatri dan ujian yang
sangat berarti. Arum pergi, demi menyambung hidup yang kian berat. Arum pergi
bekerja ke Korea, setelah belajar Bahasa Korea selama lima bulan lamanya.
Langkah Arum sudah mantap, tapi aku
belum mantap untuk melepaskan Arum, meski aku bukan siapa-siapanya. Bukan
saudara, apalagi keluarga. Aku hanya kekasih saja, yang belum tentu jodoh yang
sudah digariskan. Tapi aku percaya, Arum adalah jodohku.
Kepergian Arum
membawa duka padaku, bahkan di awal rencana Arum untuk pergi. Aku takut
kehilangan Arum, aku takut Arum lupa dengaku, atau malah kepincut pria Korea
yang kaya dan ganteng. Aku takut, sangat takut. Bayang-bayang Arum selalu
mengahantuiku, tak pernah pergi dari sekelilingku,dan itu membuatku takut
kehilangan Arum.
Aku heran,
mengapa kedua orangtuanya tak melarang? Apakah mereka tak merasa khawatir akan
keadaan Arum di sana? Ah, apa yang mereka pikirkan? Apakah hanya kiriman uang
tiap bulannya? Atau apa? Aku heran. Aku saja sangat khawatir dengan rencana
Arum ini.
Aku masih ingat,
saat dia bilang padaku tentang rencananya itu.
Saat kita tengah berteduh di halte dari hujan yang deras, karena aku
lupa membawa jas hujan.
“Mas, aku mau ke
Korea. Jangan larang aku?”
“Hah,” aku
kaget. “Kumohon jangan pergi. Aku takut.”
“Sudah kubilang
jangan larang aku. Aku harus pergi, ini tekadku,” jawab Arum tak memperdulikan
kekhawatiranku.
“Aku khawatir
dengamu, dengan cinta yang sudah kita bina sejak setahun yang lalu.”
“Tidak, aku
tidak akan melupakanmu, sungguh. Aku akan tetap mencintaimu, dan aku bisa
menjaga diriku sendiri. Aku tetap harus pergi, tak ada seorang pun yang dapat
menghalangiku lagi. Orangtuaku sudah setuju, hanya kau yang tak setuju, tak
mungkin aku membatalakan semua yang sudah aku rencanakan.”
Arum terlambat
cerita mengenai rencana ini. Ini adalah seminggu sebelum kepergiannya ke Korea.
Arum sudah belajar Bahasa Korea dan mendaftar di perusahaan yang Arum tuju
lewat penyalur kerja. Dan aku terlambat mengetahuinya. Apakah Arum tak
menganggapku sebagai kekasih? Sehingga Arum tak menceritakan itu dari awal?
Sekarang laranganku percuma, tak dapat merubah apa-apa.
“Ah, kau egois,
tak memperdulikan kehwatiranku akan dirimu.”
“Aku
tak egois, kau yang egois, jika kau tetap melarangku. Jika kau mengajakku
menikah, Bapakku pun tak punya modal untuk acara syukuran dan lain-lain, jadi
tak bisa, sekarang saatnya aku mengubah hidupku, keluargaku, dan cinta kita?
Serahkan saja pada Allah. Tapi aku akan berusaha menjaga cintaku, dan pulang
dengan cinta yang semakin besar karena rindu yang mengembang.”
Aku
tak bisa berkata apa-apa lagi. Argumen Arum lengkap. Arum sudah menghabisi semua
kata-kataku tadi. Tekat Arum sudah bulat dan aku sudah tidak bisa mencegahnya. Meski
masih ada yang mengganjal di hatiku, tetang Arum, dan cinta kita yang belum
jelas akan dibawa ke mana. Apalagi dengan kepergian Arum ke Korea, semakin tak
tahu ujungnya di mana dan kapan. Aku terdiam.
“Aku
hanya mengambil kontrak tiga tahun saja, semoga tiga tahun itu aku dapat mengunpulkan
uang utuk membeli sawah atau membuat usaha, sehingga aku punya modal hidup
selanjutnya.”
Aku masih
terdiam. Arum memegang tanganku erat. Arum mengambil tanganku dan mendekapnya,
dengan kedua tangannya. Aku memendang wajah Arum, rasanya penuh kesedihan yag
teramat dalam. Aku takut Arum yang berada di hadapanku dan sedang mendekap
tanganku tak akan kulihat lagi, tiga tahun kedepan, dan mungkin aku akan
melihatnya bersanding dengan pria lain setelah tiga tahun dari Korea. Aku takut semua itu akan terjadi.
Aku memandang
mata Arum. Lekat. Aku tak bisa membendung air mataku lagi. Arum juga begitu.
Kukecup kening Arum penuh rasa sayang. Arum menutup matanya. Sepertinya dia
menikmati kecupanku. Karena inilah kecupan pertama yang kuberikan pada Arum, setelah
setahun menjalin kisah bersama. Di temani rintikan air yang turun tak terlalu
deras. Memberikan irama syahdu dalam suasana hati yang merana.
Arum menyenderkan
kepalanya di bahuku. Mata kita kosong memandang hujan. Kita berdua tenggelam
dalam rintikan hujan yang turun membasahi bumi. Bau khas tanah pun tercium.
Semilir angin juga terasa. Damai.
“Aku ingin tiga
tahun lagi kita bisa seperti ini, dengan status berbeda,” kataku.
“Suami-isteri?”
Aku tersenyum.
“Tiga tahun adalah waktu yang cukup lama untuk melepasmu, dan aku tak bisa lagi
menunggu waktu lagi untuk meminangmu. Aku tak ingin kehilanganmu.”
Arum tersenyum.
“Semoga kau benar-benar jodohku.”
“Amin.”
Sore itu kita
tenggelam bersama cinta yang besar dan tulus. Ditemani rintikan hujan yang syahdu.
Hujan reda. Aku
bergegas mengantarkan Arum pulang. Dan aku pun pulang setelah Arum selamat
kembali ke rumah orangtuanya.
Seminggu itu aku
tak bisa tidur. Untuk hidup seperti biasa pun tak bersemangat. Aku seperti akan
kehilangan harta yang paling berharga dalam hidupku. Kerjaku terganggu, karena
bayang-bayang Arum selalu hadir.
Aku menemui Arum
lagi, di tiga hari sebelum keberangkatannya ke Korea.
“Kau sudah
yakin?”
“Sudah, seratus
persen yakin.”
“Yakin? Aku
kurang yakin.”
“Sudahlah, aku
sangat yakin, do’akan saja yag terbaik untukku, jangan kau mengkhayal yang
tidak-tidak. Bukankah kita sudah berjanji akan selalu menjaga cinta ini? Aku
akan senantiasa menjaganya, kau juga begitu.”
Bagaimana jika kau kepincut pria kaya dan ganteng di
sana? Aku takut, bukankah banyak pria ganteng di sana? Kalau tidak, bagaimana
jika kau kepincut pria Indonesia yang lebih dariku.
“Yasudah, aku
tak bisa melarangmu lagi. Aku akan mendo’akan semua yang terbaik untukmu.
Sekarang adalah
waktunya. Subuh ini Arum akan pergi. Hanya aku yang akan mengantar Arum sampai
halte, dan aku akan melepas dia di halte. Subuh itu turun hujan, meski tak
begitu deras, tapi tetap menyulitkan. Aku terpaksa mengantarkan Arum sampai di
halte dengan motorku, hanya jas hujan yang melindungi kita dan satu koper besar
Arum dari hujan.
Akhirnya dengan
susah payah kita sampai juga di halte. Meski celanaku tak terselamatkan dari
air hujan, begitu juga celana Arum, tapi itu tak membuat Arum mengeluh. Kulihat
wajah Arum berseri dan matanya, adalah mata kemantapan atas suatu tekat besar.
Aku tak bisa apa-apa lagi. Semua terlambat, aku mengetahuinya pun terlambat.
Mungkin Arum sudah tahu aku akan melarangnya, hingga Arum memberitahuku
terlambat, ya, agar aku tak bisa melarangnya.
Kita berdua
duduk di halte tersebut. Hujan tak mau pergi, matahari belum terlihat, dia
tertutup awan hitam. Subuh pun kian petang. Kulihat dia cemas, karena bis tak
kunjung datang bersandar. Kudekap tubuhnya.
“Jangan khawatir,
sebentar lagi pasti ada bis.”
“Semoga saja.”
Aku semakin erat
mendekapnya, menenangkannya. Aku berharap kegelisahan yang hadir di dirinya
cepat pergi.
Tak lama, dua
lampu besar terlihat. Aku berdiri. Diikuti Arum.
“Itu bis.”
Arum tampak
senang. Arum bersemangat lagi. Aku berdiri dan memegang erat kopernya. Aku
memegang tangannya. Erat. Kutatap matanya.
“Akan kutunggu
kedatanganmu, tiga tahun lagi, di sini, di halte ini.”
“Ya, tunggu aku
akhir di akhir November. Aku akan datang akhir November, ya, hari di akhir
bulan November.”
Aku tersenyum.
Bis tersebut berhenti, bergegas Arum naik, kopernya diangkat kernet dan
dimaskukkan ke bagasi.
Air mata tampak
menggenang di sudut mata Arum, begitu juga aku. Meski bercampur air hujan, tapi
aku tetap melihat air mata itu. Aku melihatnya, dan aku tak bisa menahan sedih.
Kulambaikan tangan. Bis bergerak dan pelan meninggallkan halte.
Aku berteriak,
“Kutunggu tiga tahun lagi, di akhir Novemver, di sini....”
Dan sekaranglah
hari itu. Hari di akhir bulan November. Dan aku memenuhi janjiku. Aku di sini,
sendiri. Dengan cinta yang mengembang karena rindu yang meninggi. Aku sangan
merindukan Arum. Aku ingin cepat mendekap Arum untuk selamanya. Dan aku tak
ingin melepaskan Arum lagi. Kuharap Arum juga begitu.
Sampai malam aku
menunggu di sini. Hujan pun sejak tadi pagi turun membasahi. Tapi Arum tak juga
datang kembali. Aku sedikit kalut. Aku khawatir apa yang dulu pernah
kukhawatirkan kini terjadi, Arum tak kembali, Aru mengingkari janji. Aku takut
semua itu terjadi.
Malam semakin
larut, dan hujan semakin deras. Tiba-tiba ada bis lewat. Tapi tak berhenti. Aku
sedikit kecewa. Aku masih duduk termenung. Tiba-tiba mataku menangkap bayangan
seorang gadis dengan koper besar di bawah hujan yang deras. Gadis yang tak
asing lagi kulihat, tapi sekarang lebih putih dan cantik.
“Arum....” aku
berlari memapak Arum.
“Anyong haseo.” Arum tersentyum.
“Haha, pakai Bahasa
Korea, segala.” Aku langsung mendekap Arum di bawah hujan yang deras.
Sepertinya hujan tak terasa lagi, malah menjadikan suasana indah malam itu.
Ditambah hatiku yang terobati karena Arum menepati janjinya.
“Kau menepati
janjimu Rum.”
“Kau juga.”
Aku menatap
matanya dan mencium keningnya. Arum tampak menikmatinya. Hujan masih membasahi.
Tak sedikit pun terasa dingin. Mungkin karena kehangatan cinta kita membakar
bagai bara.
“Kau laki-laki
hujan, seneng banget hujan-hujanan, ya.”
“Apa pun itu
akan kulakukan demi kamu.”
Aku mencium
kening Arum lagi. Tetap di tempat itu, di bawah hujan di luar halte, aku tak
ingin beranjak dari tempat itu, sebelum rinduku semua terkuras habis.
*Dimuat di Malang Pos, pada Minggu, 10 Maret 2013
3 komentar
saya terharu membacanya, bagus lho!
ReplyDeleteTerima kasih, hehe
DeleteIni baru belajar
:)
ReplyDelete